Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat Katolik Keuskupan Agung Makassar: salam sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, “gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala sesuatu yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu” (Kol. 1:15-16a). Lingkaran 3-tahunan gerakan APP Nasional 2017-2019 mengangkat tema besar “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan demi Kesejahteraan Hidup Bersama”. Subtema pertama pada tahun 2017 ini berjudul “Keluarga Berwawasan Ekologis”. Marilah kita merenungkan topik ini bertitiktolak dari Kitab Suci, sabda Allah.
(1.
Kitab Kejadian menampilkan dua model penciptaan manusia oleh Allah. Model yang disebut pertama, ialah melalui Sabda atau Firman. “Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya …; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:26-27). Menurut para ahli, model ini bersumber dari tradisi P (Priestercodex, dari masa sesudah pembuangan: sejak akhir abad ke-6 B.C). Sedangkan model kedua menggambarkan Tuhan Allah bagai pematung, yang “membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7). Model ini, menurut para ahli, sumbernya adalah tradisi Y (Yahwis), yang sesungguhnya jauh lebih tua dari tradisi P, karena berasal dari sekitar abad ke-10 B.C.
Indah Rencana Tuhan)Kitab Kejadian menampilkan dua model penciptaan manusia oleh Allah. Model yang disebut pertama, ialah melalui Sabda atau Firman. “Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya …; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:26-27). Menurut para ahli, model ini bersumber dari tradisi P (Priestercodex, dari masa sesudah pembuangan: sejak akhir abad ke-6 B.C). Sedangkan model kedua menggambarkan Tuhan Allah bagai pematung, yang “membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7). Model ini, menurut para ahli, sumbernya adalah tradisi Y (Yahwis), yang sesungguhnya jauh lebih tua dari tradisi P, karena berasal dari sekitar abad ke-10 B.C.
Pertanyaan yang penting diajukan, ialah: untuk apa Tuhan Allah menciptakan manusia? Pastilah bukan untuk kepentingan-Nya sendiri. Mengapa? Karena Allah itu Mahasempurna, tidak ada satu pun kekurangan dalam Diri-Nya. Maka Ia tidak memerlukan apa pun dari luar Diri-Nya. Jadi apa sesungguhnya tujuan Tuhan Allah menciptakan manusia? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan dalam kisah taman Eden (Kej. 2:8-25): “Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuknya itu. Lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” (2:8-9). Di situ ada sungai yang mengalir untuk membasahi taman itu (2:10-14). Di taman Eden itu juga Tuhan Allah membentuk dari tanah segala ternak (2:20), binatang hutan dan burung-burung di udara (2:19.20).
Di taman Eden itu pulalah Tuhan Allah menjadikan penolong bagi manusia itu, yang sepadan dengan dia: “Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak … Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya … Dan dari rusuk … itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki’. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (2:21-24). Jadi lembaga keluarga sebagai ikatan cinta kasih suci antara suami-isteri sudah ditegakkan Allah sendiri sejak awal mula. Di atas kita sudah melihat, bahwa juga dalam model penciptaan melalui Sabda ditegaskan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Berdasarkan ketetapan sejak semula ini, Yesus Kristus kemudian menegaskan, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6; Mrk. 10:9).
Adapun keluarga manusia pertama itu hidup berbahagia di taman Eden, dalam lingkungan yang harmonis, segala kebutuhan terpenuhi, dan mereka berada dalam relasi akrab dengan Tuhan Allah. Tuhan Allah digambarkan sering “berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk” (3:8). Sebagai gambar dan rupa Allah, tentu saja manusia tidak dapat hanya duduk bermalas-malas di taman Eden. Sebagaimana Allah sendiri terus berkarya, manusia juga harus terus bekerja “mengusahakan dan memelihara taman itu” (2:15).
(2. Dirusak oleh Dosa)
Akibat dosa, kebahagiaan keluarga manusia pertama, yang disimbolkan dengan taman Eden, hilang. Apa sesungguhnya hakekat dosa manusia/keluarga pertama itu? Mereka diciptakan “menurut gambar (selem) dan rupa (demût) Allah”. Kata Ibrani selem berarti copy yang persis sama dengan aslinya, reproduksi; sedangkan demût berarti serupa, mirip. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia tidak dapat tidak harus tetap dalam ikatan ketergantungan pada Allah. Sebuah reproduksi atau ‘yang mirip’ tidak dapat berubah menjadi ‘yang asli’. Tetapi itulah yang terjadi dengan kisah kejatuhan manusia (Kej. 3): Manusia tidak tunduk kepada Allah; ia melepaskan ketergantungannya pada Allah, dan mau menjadi Allah sendiri. Sebagai akibatnya, rencana asli penciptanya ditunggangbalikkan: kisah kebahagiaan (taman Eden) menjadi kisah penderitaan, sejarah keselamatan menjadi sejarah kemalangan. Dan ini mengena semua dimensi relasional manusia:
(a). Hubungan Manusia dengan Allah: Akibat dosa putuslah hubungan akrab antara manusia dengan Allah, yang dilambangkan dengan pengusiran manusia dari taman Eden (Kej. 3:22-24). Sebagai konsekwensi putusnya hubungan dengan Allah ini, manusia diserahkan kepada penderitaan dan kematian yang menakutkan (maut). “Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil” (3:19). Ganti menerima kehidupan ilahi sebagai anugerah (“Tuhan Allah … menghembuskan nafas ke dalam hidungnya”, Kej. 2:7), Adam dan Hawa, pasutri pertama itu, membuang hidup ilahi itu, dan sendiri mau menjadi allah dengan makan buah terlarang (=tidak tunduk kepada Allah). Akibat ketidaktaatan ini manusia menghancurkan kehidupannya. Kematian yang seharusnya hanya merupakan peralihan final kepada Allah, kini tidak lagi berupa gejala kodrati (biologis) semata. Kini kematian itu menjadi pengalaman fatal, menandakan penghukuman, kematian abadi. Dengan menolak hukum batin, yang merupakan kehadiran ilahi dalam dirinya, manusia diserahkan kepada dirinya sendiri, kepada otonominya yang salah. Sejarah mencatat kegagalan-kegagalan berulang kali dari orang-orang yang menyangka dapat menyamai Allah dan kemudian hanya berjumpa dengan kematian, berupa maut yang menakutkan.
(b). Hubungan Manusia dengan Sesamanya: Hal pertama yang ditemukan Adam dan Hawa, si pendosa, ialah bahwa mereka telanjang (3:7.10-11). Apa yang sampai saat itu hanya berupa simbol, kini menjadi pemisahan. Ketika ditanya Allah, Adam mempersalahkan isterinya (taktik mengelak dari tanggungjawab dengan melempar kesalahan kepada yang lain), dan dengan demikian dia menjauhkan diri dari isterinya (3:12). Allah kemudian memberitahu mereka bahwa kesatuan mereka (sebagai “satu daging” = kesatuan perkawinan/keluarga) telah rusak. Relasi mereka akan dikuasai oleh dorongan naluri dan nafsu, oleh iri hati dan dominasi; dan buah cinta mereka (anak) hanya akan diberikan kepada mereka dengan sangat kesakitan waktu melahirkan (3:16). Bab-bab selanjutnya dari kitab Kejadian memperlihatkan betapa pemisahan pasutri/keluarga pertama ini berpengaruh pada segala macam ikatan sosial; antara Kain dan Habel, saudara sekandung yang bermusuhan dan bahkan memuncak pada tindakan pembunuhan (Kej. 4), dan di kalangan penduduk Babel yang tak lagi dapat saling mengerti satu sama lain (Kej. 11:1-9). Sejarah agama-agama merupakan sebuah rentang kusut jaringan perpecahan, silih bergantinya perang antar suku dan bangsa, antara kelompok dalam satu bangsa atau negara, jurang pemisahan antara yang kaya dan yang miskin.
(c). Hubungan Manusia dengan Alam: Dosa tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Dosa membawa pula pengaruh buruk pada hubungan manusia dengan alam. Akibat dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa, untuk selanjutnya tanah menjadi terkutuk. Manusia akan memperoleh makanannya tidak lagi sebagai buah spontan bumi, melainkan sebagai hasil jerih payah dengan berpeluh (Kej. 3:17-19). Ciptaan lalu ditaklukkan kepada kesia-siaan (Rom. 8:20); ganti tunduk dengan rela, alam memberontak melawan manusia. Dan ini berlangsung sampai sekarang. Ketika pada Desember 1987 banjir besar melanda Kabupaten Polmas (kini bagian dari Propinsi Sulbar), Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan waktu itu, Prof. Dr. A. Amiruddin, berkomentar: “Kalau manusia berlaku tidak ramah terhadap alam, maka alam pun akan balik berlaku tidak ramah kepada manusia”.
Dalam Ensikliknya Laudato Si’, yang dikeluarkan pada Hari Pentakosta, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menulis: “Saudari (bumi) ini kini menjerit kepada kita karena kerusakan yang telah kita timpakan padanya dengan penggunaan dan penyalahgunaan barang-barang yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Kita telah sampai melihat diri kita berlagak sebagai tuan-tuan dan pemiliknya, yang merasa berhak menjarah dia semau kita. Kekerasan yang ada dalam hati kita, terluka oleh dosa, juga tercermin pada gejala-gejala penyakit yang tampak jelas pada tanah, air, udara dan pada segala bentuk kehidupan. Inilah sebabnya bumi sendiri, yang terbebani dan terabaikan, adalah yang paling teraniaya dan terbuang di kalangan kaum miskin kita; ia “mengeluh kesakitan” (Rom. 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri adalah debu tanah (bdk.Kej.2:7); tubuh kita sendiri terbentuk dari unsur-unsurnya, kita menghirup udaranya dan kita menerima kehidupan serta minuman dari airnya” (no. 2).
Sudah sejak pertengahan dekade 1960-an merebak ramai debat teologis, khususnya di Amerika Utara, sekitar masalah ekologi. Para ekologist menuduh etika Kristen, yang menekankan wewenang manusia atas alam (bdk.Kej.1:26-28), telah melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi buta dan budaya ekonomistik yang tidak sehat. Tentu saja para teolog Kristen menolak tuduhan tersebut. Khususnya dalam tradisi Katolik, etika menyangkut hubungan antara manusia dan alam tidak dibangun atas dasar pandangan antroposentrisme, yang terasa kuat dalam Kej. 1:26-28, melainkan atas teologi inkarnasi Sabda Allah dalam Perjanjian Baru. Atas dasar ini hubungan antara manusia dan alam kodrati dipahami secara lebih positif dan terdapat suatu sikap bekerjasama dengan alam. Tetapi pertanyaannya ialah, sejauh mana kita orang-orang Katolik melandaskan sikap dan perilaku kita terhadap alam pada teologi inkarnasi dan pada kisah taman Eden? Sejauh mana kita tidak memperlakukan ibu pertiwi secara semena-mena, melainkan “mengusahakan dan memelihara”-nya bagai taman Eden?
Akibat dosa, kebahagiaan keluarga manusia pertama, yang disimbolkan dengan taman Eden, hilang. Apa sesungguhnya hakekat dosa manusia/keluarga pertama itu? Mereka diciptakan “menurut gambar (selem) dan rupa (demût) Allah”. Kata Ibrani selem berarti copy yang persis sama dengan aslinya, reproduksi; sedangkan demût berarti serupa, mirip. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia tidak dapat tidak harus tetap dalam ikatan ketergantungan pada Allah. Sebuah reproduksi atau ‘yang mirip’ tidak dapat berubah menjadi ‘yang asli’. Tetapi itulah yang terjadi dengan kisah kejatuhan manusia (Kej. 3): Manusia tidak tunduk kepada Allah; ia melepaskan ketergantungannya pada Allah, dan mau menjadi Allah sendiri. Sebagai akibatnya, rencana asli penciptanya ditunggangbalikkan: kisah kebahagiaan (taman Eden) menjadi kisah penderitaan, sejarah keselamatan menjadi sejarah kemalangan. Dan ini mengena semua dimensi relasional manusia:
(a). Hubungan Manusia dengan Allah: Akibat dosa putuslah hubungan akrab antara manusia dengan Allah, yang dilambangkan dengan pengusiran manusia dari taman Eden (Kej. 3:22-24). Sebagai konsekwensi putusnya hubungan dengan Allah ini, manusia diserahkan kepada penderitaan dan kematian yang menakutkan (maut). “Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil” (3:19). Ganti menerima kehidupan ilahi sebagai anugerah (“Tuhan Allah … menghembuskan nafas ke dalam hidungnya”, Kej. 2:7), Adam dan Hawa, pasutri pertama itu, membuang hidup ilahi itu, dan sendiri mau menjadi allah dengan makan buah terlarang (=tidak tunduk kepada Allah). Akibat ketidaktaatan ini manusia menghancurkan kehidupannya. Kematian yang seharusnya hanya merupakan peralihan final kepada Allah, kini tidak lagi berupa gejala kodrati (biologis) semata. Kini kematian itu menjadi pengalaman fatal, menandakan penghukuman, kematian abadi. Dengan menolak hukum batin, yang merupakan kehadiran ilahi dalam dirinya, manusia diserahkan kepada dirinya sendiri, kepada otonominya yang salah. Sejarah mencatat kegagalan-kegagalan berulang kali dari orang-orang yang menyangka dapat menyamai Allah dan kemudian hanya berjumpa dengan kematian, berupa maut yang menakutkan.
(b). Hubungan Manusia dengan Sesamanya: Hal pertama yang ditemukan Adam dan Hawa, si pendosa, ialah bahwa mereka telanjang (3:7.10-11). Apa yang sampai saat itu hanya berupa simbol, kini menjadi pemisahan. Ketika ditanya Allah, Adam mempersalahkan isterinya (taktik mengelak dari tanggungjawab dengan melempar kesalahan kepada yang lain), dan dengan demikian dia menjauhkan diri dari isterinya (3:12). Allah kemudian memberitahu mereka bahwa kesatuan mereka (sebagai “satu daging” = kesatuan perkawinan/keluarga) telah rusak. Relasi mereka akan dikuasai oleh dorongan naluri dan nafsu, oleh iri hati dan dominasi; dan buah cinta mereka (anak) hanya akan diberikan kepada mereka dengan sangat kesakitan waktu melahirkan (3:16). Bab-bab selanjutnya dari kitab Kejadian memperlihatkan betapa pemisahan pasutri/keluarga pertama ini berpengaruh pada segala macam ikatan sosial; antara Kain dan Habel, saudara sekandung yang bermusuhan dan bahkan memuncak pada tindakan pembunuhan (Kej. 4), dan di kalangan penduduk Babel yang tak lagi dapat saling mengerti satu sama lain (Kej. 11:1-9). Sejarah agama-agama merupakan sebuah rentang kusut jaringan perpecahan, silih bergantinya perang antar suku dan bangsa, antara kelompok dalam satu bangsa atau negara, jurang pemisahan antara yang kaya dan yang miskin.
(c). Hubungan Manusia dengan Alam: Dosa tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Dosa membawa pula pengaruh buruk pada hubungan manusia dengan alam. Akibat dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa, untuk selanjutnya tanah menjadi terkutuk. Manusia akan memperoleh makanannya tidak lagi sebagai buah spontan bumi, melainkan sebagai hasil jerih payah dengan berpeluh (Kej. 3:17-19). Ciptaan lalu ditaklukkan kepada kesia-siaan (Rom. 8:20); ganti tunduk dengan rela, alam memberontak melawan manusia. Dan ini berlangsung sampai sekarang. Ketika pada Desember 1987 banjir besar melanda Kabupaten Polmas (kini bagian dari Propinsi Sulbar), Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan waktu itu, Prof. Dr. A. Amiruddin, berkomentar: “Kalau manusia berlaku tidak ramah terhadap alam, maka alam pun akan balik berlaku tidak ramah kepada manusia”.
Dalam Ensikliknya Laudato Si’, yang dikeluarkan pada Hari Pentakosta, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menulis: “Saudari (bumi) ini kini menjerit kepada kita karena kerusakan yang telah kita timpakan padanya dengan penggunaan dan penyalahgunaan barang-barang yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Kita telah sampai melihat diri kita berlagak sebagai tuan-tuan dan pemiliknya, yang merasa berhak menjarah dia semau kita. Kekerasan yang ada dalam hati kita, terluka oleh dosa, juga tercermin pada gejala-gejala penyakit yang tampak jelas pada tanah, air, udara dan pada segala bentuk kehidupan. Inilah sebabnya bumi sendiri, yang terbebani dan terabaikan, adalah yang paling teraniaya dan terbuang di kalangan kaum miskin kita; ia “mengeluh kesakitan” (Rom. 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri adalah debu tanah (bdk.Kej.2:7); tubuh kita sendiri terbentuk dari unsur-unsurnya, kita menghirup udaranya dan kita menerima kehidupan serta minuman dari airnya” (no. 2).
Sudah sejak pertengahan dekade 1960-an merebak ramai debat teologis, khususnya di Amerika Utara, sekitar masalah ekologi. Para ekologist menuduh etika Kristen, yang menekankan wewenang manusia atas alam (bdk.Kej.1:26-28), telah melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi buta dan budaya ekonomistik yang tidak sehat. Tentu saja para teolog Kristen menolak tuduhan tersebut. Khususnya dalam tradisi Katolik, etika menyangkut hubungan antara manusia dan alam tidak dibangun atas dasar pandangan antroposentrisme, yang terasa kuat dalam Kej. 1:26-28, melainkan atas teologi inkarnasi Sabda Allah dalam Perjanjian Baru. Atas dasar ini hubungan antara manusia dan alam kodrati dipahami secara lebih positif dan terdapat suatu sikap bekerjasama dengan alam. Tetapi pertanyaannya ialah, sejauh mana kita orang-orang Katolik melandaskan sikap dan perilaku kita terhadap alam pada teologi inkarnasi dan pada kisah taman Eden? Sejauh mana kita tidak memperlakukan ibu pertiwi secara semena-mena, melainkan “mengusahakan dan memelihara”-nya bagai taman Eden?
(3. Membangkitkan Pertobatan Ekologis Berawal dari Keluarga).
Pertama-tama, mari kita menyegarkan kesadaran kita lagi akan makna pertobatan sejati. Pertobatan dalam bahasa Latin disebut conversio (kembalinya), bahasa Yunani metanoia (meta = perubahan, nous = mentalitas), merupakan padanan kata Ibrani syûb, yang menjadi ciri pemberitaan para nabi (Yer. 18:8; 24:7; Yeh. 33:9.11; Am. 4:6-12). Pertobatan mengungkapkan perubahan radikal dalam diri manusia, yang mewujud dalam tindakan dan perilaku nyata.
Di sini kita ingin mencanangkan gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga. Dalam kaitan ini barangkali kita masih ingat apa yang pernah dikemukakan Paus Yohannes Paulus II, yang sekarang sudah santo. Beliau mengatakan, kalau keluarga-keluarga Katolik baik, maka Gereja akan baik. Sesungguhnya dengan pernyataan ini beliau hanya mengetrapkan dalil sosiologi pada Gereja. Dalam sosiologi, keluarga dipandang sebagai sel dasar masyarakat. Kalau sel itu sehat, maka masyarakat akan sehat; sebaliknya, kalau sel itu sakit, maka masyarakat akan sakit. Dan masyarakat manusia tidak terbayangkan tanpa hubungan hakiki dan eksistensial dengan alam ciptaan. Selanjutnya, kebenaran dalil sosiologis tentang sentralnya posisi keluarga dalam keutuhan ciptaan sesungguhnya mempunyai landasan biblis yang kuat. Bukankah, sebagaimana kita sudah lihat, Allah menciptakan manusia pria dan wanita dan menempatkan pasutri pertama itu di taman Eden? Dan apa yang disebut “dosa asal” itu pada hakekatnya adalah dosa keluarga pertama, Adam dan Hawa! Maka gerakan pertobatan ekologis yang berawal dari keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis.
Pertama-tama kita harus berpegang pada kebenaran iman, bahwa dalam Kristus segala sesuatu telah ditebus. Namun, di lain pihak, penebusan dalam Kristus tidak menghapus kehendak bebas manusia. Manusia tetap dapat menerima dan setia pada Allah atau, sebaliknya, menolak Allah. Karena itu, pusat pewartaan Yesus adalah: “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15//Mat. 3:2; 4:17).
Bagaimana secara konkret pertobatan ekologis itu mewujud dalam keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mulai dengan memperhatikan keprihatinan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Beliau menulis: “Patut disayangkan, banyak upaya mencari solusi-solusi konkret terhadap krisis lingkungan telah terbukti tidak efektif, tidak saja karena adanya oposisi yang kuat melainkan juga karena kurangnya kepedulian secara umum. Sikap-sikap yang menghalangi, juga di kalangan kaum beriman, dari menyangkal adanya masalah ke sikap acuh tak acuh, tak ambil pusing atau kepercayaan buta pada solusi-solusi teknis. Kita membutuhkan suatu solidaritas baru dan universal…Kita semua dapat bekerjasama sebagai alat-alat (dalam tangan) Allah untuk memelihara ciptaan, masing-masing menurut budaya, pengalaman, keterlibatan dan talenta sendiri-sendiri” (no. 14).
Kembali ke lembaga keluarga, simaklah anekdot ini: Alkisah, adalah suatu keluarga yang sibuk membangun rumah. Kemudian datanglah seorang membawa berita, bumi sedang terbakar. Tetapi keluarga itu tidak peduli. Mereka hanya fokus pada upaya menyelesaikan segera pembangunan rumah mereka. Ketika rumah sudah selesai dibangun, baru mereka sadar tidak ada tempat lagi untuk meletakkan rumah itu, karena bumi sudah terbakar hangus. Kiranya pesan cerita kecil ini jelas. Dalam hal memelihara dan menjaga bumi, sang ibu pertiwi, tak ada satu keluarga pun yang boleh mengambil sikap tak peduli. Barangkali keluarga anda bukanlah pengusaha besar kayu yang telah merusak hutan dalam skala besar, bukan industrialis yang menyebabkan polusi udara dan air, bukan pula pengusaha tambang yang menggunduli kulit bumi sampai terancam menjadi padang pasir, dst.! Mungkin keluarga anda hanyalah keluarga sederhana. Tetapi setiap keluarga, tak terkecuali keluarga anda menjadi si alamat seruan Paus Fransiskus, untuk menjadi alat-alat di tangan Allah dalam memelihara keutuhan ciptaan.
Hendaknya ritus tobat yang kita ucapkan pada setiap awal perayaan Ekaristi tidak tinggal menjadi kata-kata hampa, tanpa makna. Kita berkata, dan selanjutnya menepuk dada: “Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa”. Pentinglah memperhatikan rumusan, berdosa “dengan perbuatan dan kelalaian”. Berdosa “dengan perbuatan” adalah tindakan melanggar hukum moral dengan tahu dan mau. Berdosa “dengan kelalaian” ialah tidak membuat apa yang seharusnya dibuat. Jadi, lalai memelihara lingkungan, lalai menjaga keutuhan ciptaan adalah dosa!
Kalau setiap keluarga Katolik sudah sampai pada kesadaran itu, ia akan terdorong untuk berubah. Kita telah melihat, pertobatan pertama-tama berarti perubahan mental, yang selanjutnya terungkap keluar dalam perilaku, tindakan. Paus Fransiskus mengajak kita melibatkan diri dalam memelihara lingkungan menurut budaya, pengalaman, posisi dan bakat kita masing-masing. Yang paling penting dan mendasar ialah upaya setiap keluarga membangun kesadaran akan tanggungjawab memelihara lingkungan, dan selalu mengingat bahwa mengabaikan tanggungjawab tersebut adalah dosa kelalaian! Dan jangan lupa, kelalaian memelihara lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Allah, Sang Pencipta, yang pada awalmula menempatkan pasutri pertama di taman Eden, untuk mengusahakan dan memeliharanya! Bahwa kelalaian merawat lingkungan adalah juga dosa sosial, dosa terhadap sesama, itu dengan sendirinya jelas. Bukankah, misalnya, membuang sampah ke selokan di samping rumah kita dan menyebabkan air tidak dapat mengalir pada musim hujan, akan merugikan tetangga-tetangga kita pula?
Jadi, kita melihat dosa kelalaian merawat lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Sang Pencipta dan terhadap sesama. Hal ini jelas pada apa yang disebut “dosa asal”, dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa. Dosa terhadap Allah sekaligus merusak relasi antar mereka (relasi sosial) dan relasi mereka dengan lingkungan (alam). Karena itu pertobatan kita pada Masa Prapaskah tidak dapat hanya dengan berupa upaya memperbaiki hubungan kita dengan Allah, dan mengabaikan perbaikan hubungan dengan sesama dan dengan alam ciptaan.
Kembali ke gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga, kita perlu berpaling ke Keluarga Kudus Nazaret untuk mendapatkan inspirasi. Inti spiritualitas Keluarga Kudus ialah ketaatan total kepada kehendak Allah. Ini persis bertolak-belakang dengan inti dosa pasutri/keluarga pertama, Adam dan Hawa, yaitu ketidaksetiaan kepada perintah Allah, dan sendiri mau “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Maria (ibu keluarga) menegaskannya dengan kata-kata: “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Yusuf (bapa keluarga) mengungkapkannya bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti apa yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya” (Mat. 1:24). Dan, seperti kata pepatah, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya; sikap dasar itu turun kepada sang anak. Yesus merumuskannya dalam bentuk doa: “Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42).
Kesetiaan total kepada Allah sekaligus mewujud dalam relasi dengan orang lain, berupa perhatian, keprihatinan, belarasa, kasih, khususnya kepada mereka yang miskin dan menderita. Mengenai segi ini memang Injil tak banyak bicara tentang orang tua Yesus. Tetapi itu tidak berarti orang tua Yesus kurang peduli terhadap sesama. Kita melihat kepekaan Maria terhadap kesulitan yang sedang dihadapi orang lain, misalnya pada pesta perkawinan di Kana. Dan bahwa kemudian sang Anak tampil sebagai pribadi yang peka terhadap penderitaan orang lain, yang rela mengorbankan diri karena kasih terhadap sesama, itu tentu berkat didikan orang tua-Nya.
Lalu bagaimana sikap dan perhatian Keluarga Kudus Nazaret terhadap lingkungan hidup? Hal ini memang sulit ditelusuri dalam Injil.Tetapi jangan dilupakan, bahwa masalah serius menyangkut ekologi baru mulai sejak abad ke-19, ketika kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan revolusi teknologis, yang secara harafiah merubah muka bumi. Seandainya Keluarga Kudus Nazaret hidup pada zaman sekarang, mereka tentu akan menjadi teladan dalam merawat keutuhan ciptaan! Tetapi tidakkah setiap keluarga Katolik pada dewasa ini terpanggil menjadi Keluarga Kudus Nazaret?
Pertama-tama, mari kita menyegarkan kesadaran kita lagi akan makna pertobatan sejati. Pertobatan dalam bahasa Latin disebut conversio (kembalinya), bahasa Yunani metanoia (meta = perubahan, nous = mentalitas), merupakan padanan kata Ibrani syûb, yang menjadi ciri pemberitaan para nabi (Yer. 18:8; 24:7; Yeh. 33:9.11; Am. 4:6-12). Pertobatan mengungkapkan perubahan radikal dalam diri manusia, yang mewujud dalam tindakan dan perilaku nyata.
Di sini kita ingin mencanangkan gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga. Dalam kaitan ini barangkali kita masih ingat apa yang pernah dikemukakan Paus Yohannes Paulus II, yang sekarang sudah santo. Beliau mengatakan, kalau keluarga-keluarga Katolik baik, maka Gereja akan baik. Sesungguhnya dengan pernyataan ini beliau hanya mengetrapkan dalil sosiologi pada Gereja. Dalam sosiologi, keluarga dipandang sebagai sel dasar masyarakat. Kalau sel itu sehat, maka masyarakat akan sehat; sebaliknya, kalau sel itu sakit, maka masyarakat akan sakit. Dan masyarakat manusia tidak terbayangkan tanpa hubungan hakiki dan eksistensial dengan alam ciptaan. Selanjutnya, kebenaran dalil sosiologis tentang sentralnya posisi keluarga dalam keutuhan ciptaan sesungguhnya mempunyai landasan biblis yang kuat. Bukankah, sebagaimana kita sudah lihat, Allah menciptakan manusia pria dan wanita dan menempatkan pasutri pertama itu di taman Eden? Dan apa yang disebut “dosa asal” itu pada hakekatnya adalah dosa keluarga pertama, Adam dan Hawa! Maka gerakan pertobatan ekologis yang berawal dari keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis.
Pertama-tama kita harus berpegang pada kebenaran iman, bahwa dalam Kristus segala sesuatu telah ditebus. Namun, di lain pihak, penebusan dalam Kristus tidak menghapus kehendak bebas manusia. Manusia tetap dapat menerima dan setia pada Allah atau, sebaliknya, menolak Allah. Karena itu, pusat pewartaan Yesus adalah: “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15//Mat. 3:2; 4:17).
Bagaimana secara konkret pertobatan ekologis itu mewujud dalam keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mulai dengan memperhatikan keprihatinan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Beliau menulis: “Patut disayangkan, banyak upaya mencari solusi-solusi konkret terhadap krisis lingkungan telah terbukti tidak efektif, tidak saja karena adanya oposisi yang kuat melainkan juga karena kurangnya kepedulian secara umum. Sikap-sikap yang menghalangi, juga di kalangan kaum beriman, dari menyangkal adanya masalah ke sikap acuh tak acuh, tak ambil pusing atau kepercayaan buta pada solusi-solusi teknis. Kita membutuhkan suatu solidaritas baru dan universal…Kita semua dapat bekerjasama sebagai alat-alat (dalam tangan) Allah untuk memelihara ciptaan, masing-masing menurut budaya, pengalaman, keterlibatan dan talenta sendiri-sendiri” (no. 14).
Kembali ke lembaga keluarga, simaklah anekdot ini: Alkisah, adalah suatu keluarga yang sibuk membangun rumah. Kemudian datanglah seorang membawa berita, bumi sedang terbakar. Tetapi keluarga itu tidak peduli. Mereka hanya fokus pada upaya menyelesaikan segera pembangunan rumah mereka. Ketika rumah sudah selesai dibangun, baru mereka sadar tidak ada tempat lagi untuk meletakkan rumah itu, karena bumi sudah terbakar hangus. Kiranya pesan cerita kecil ini jelas. Dalam hal memelihara dan menjaga bumi, sang ibu pertiwi, tak ada satu keluarga pun yang boleh mengambil sikap tak peduli. Barangkali keluarga anda bukanlah pengusaha besar kayu yang telah merusak hutan dalam skala besar, bukan industrialis yang menyebabkan polusi udara dan air, bukan pula pengusaha tambang yang menggunduli kulit bumi sampai terancam menjadi padang pasir, dst.! Mungkin keluarga anda hanyalah keluarga sederhana. Tetapi setiap keluarga, tak terkecuali keluarga anda menjadi si alamat seruan Paus Fransiskus, untuk menjadi alat-alat di tangan Allah dalam memelihara keutuhan ciptaan.
Hendaknya ritus tobat yang kita ucapkan pada setiap awal perayaan Ekaristi tidak tinggal menjadi kata-kata hampa, tanpa makna. Kita berkata, dan selanjutnya menepuk dada: “Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa”. Pentinglah memperhatikan rumusan, berdosa “dengan perbuatan dan kelalaian”. Berdosa “dengan perbuatan” adalah tindakan melanggar hukum moral dengan tahu dan mau. Berdosa “dengan kelalaian” ialah tidak membuat apa yang seharusnya dibuat. Jadi, lalai memelihara lingkungan, lalai menjaga keutuhan ciptaan adalah dosa!
Kalau setiap keluarga Katolik sudah sampai pada kesadaran itu, ia akan terdorong untuk berubah. Kita telah melihat, pertobatan pertama-tama berarti perubahan mental, yang selanjutnya terungkap keluar dalam perilaku, tindakan. Paus Fransiskus mengajak kita melibatkan diri dalam memelihara lingkungan menurut budaya, pengalaman, posisi dan bakat kita masing-masing. Yang paling penting dan mendasar ialah upaya setiap keluarga membangun kesadaran akan tanggungjawab memelihara lingkungan, dan selalu mengingat bahwa mengabaikan tanggungjawab tersebut adalah dosa kelalaian! Dan jangan lupa, kelalaian memelihara lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Allah, Sang Pencipta, yang pada awalmula menempatkan pasutri pertama di taman Eden, untuk mengusahakan dan memeliharanya! Bahwa kelalaian merawat lingkungan adalah juga dosa sosial, dosa terhadap sesama, itu dengan sendirinya jelas. Bukankah, misalnya, membuang sampah ke selokan di samping rumah kita dan menyebabkan air tidak dapat mengalir pada musim hujan, akan merugikan tetangga-tetangga kita pula?
Jadi, kita melihat dosa kelalaian merawat lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Sang Pencipta dan terhadap sesama. Hal ini jelas pada apa yang disebut “dosa asal”, dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa. Dosa terhadap Allah sekaligus merusak relasi antar mereka (relasi sosial) dan relasi mereka dengan lingkungan (alam). Karena itu pertobatan kita pada Masa Prapaskah tidak dapat hanya dengan berupa upaya memperbaiki hubungan kita dengan Allah, dan mengabaikan perbaikan hubungan dengan sesama dan dengan alam ciptaan.
Kembali ke gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga, kita perlu berpaling ke Keluarga Kudus Nazaret untuk mendapatkan inspirasi. Inti spiritualitas Keluarga Kudus ialah ketaatan total kepada kehendak Allah. Ini persis bertolak-belakang dengan inti dosa pasutri/keluarga pertama, Adam dan Hawa, yaitu ketidaksetiaan kepada perintah Allah, dan sendiri mau “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Maria (ibu keluarga) menegaskannya dengan kata-kata: “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Yusuf (bapa keluarga) mengungkapkannya bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti apa yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya” (Mat. 1:24). Dan, seperti kata pepatah, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya; sikap dasar itu turun kepada sang anak. Yesus merumuskannya dalam bentuk doa: “Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42).
Kesetiaan total kepada Allah sekaligus mewujud dalam relasi dengan orang lain, berupa perhatian, keprihatinan, belarasa, kasih, khususnya kepada mereka yang miskin dan menderita. Mengenai segi ini memang Injil tak banyak bicara tentang orang tua Yesus. Tetapi itu tidak berarti orang tua Yesus kurang peduli terhadap sesama. Kita melihat kepekaan Maria terhadap kesulitan yang sedang dihadapi orang lain, misalnya pada pesta perkawinan di Kana. Dan bahwa kemudian sang Anak tampil sebagai pribadi yang peka terhadap penderitaan orang lain, yang rela mengorbankan diri karena kasih terhadap sesama, itu tentu berkat didikan orang tua-Nya.
Lalu bagaimana sikap dan perhatian Keluarga Kudus Nazaret terhadap lingkungan hidup? Hal ini memang sulit ditelusuri dalam Injil.Tetapi jangan dilupakan, bahwa masalah serius menyangkut ekologi baru mulai sejak abad ke-19, ketika kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan revolusi teknologis, yang secara harafiah merubah muka bumi. Seandainya Keluarga Kudus Nazaret hidup pada zaman sekarang, mereka tentu akan menjadi teladan dalam merawat keutuhan ciptaan! Tetapi tidakkah setiap keluarga Katolik pada dewasa ini terpanggil menjadi Keluarga Kudus Nazaret?
(4. Pendidikan Anak Berwawasan Ekologis)
Di atas kita terutama mengarahkan pesan ekologis kepada orang tua dalam keluarga. Tentu saja kita tidak boleh melupakan anak-anak, generasi penerus yang akan mewarisi bumi sebagai rumah bersama dan sebagai “ibu yang menopang dan membimbing kita, dan yang menghasilkan berbagai jenis buah-buahan dengan bebungaan berwarna-warni serta bumbu-bumbuan” (Madah Makhluk Fransiskus Asisi; Laudato Si’, no. 1).
Gereja selalu memandang keluarga sebagai sekolah pertama. Dasar pertimbangannya ialah karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak. Oleh sebab itu orang tua terikat kewajiban teramat berat untuk mendidik anak-anak mereka; orang tualah pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Dalam keluargalah anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja. Melalui keluargalah akhirnya mereka lambat laun diajak berintegrasi dalam masyarakat manusia dan umat Allah dalam dunia (lih. GE,1).
Kecuali itu, harus disadari betapa pentingnya pendidikan nilai bagi anak-anak kita sejak dini. Sebab apa yang diterima dan dialami anak manusia pada masa kecilnya akan tetap tinggal dan berpengaruh dalam hidupnya di masa dewasa. Semakin dalam pengalaman di masa kecil itu tertanam, akan semakin besar pengaruhnya kelak dalam hidupnya sampai akhir. Karena itu pendidikan berwawasan ekologis bagi anak-anak amat penting dan sangat strategis.
Lalu apa yang secara konkret dapat diberikan orang tua dalam pendidikan berwawasan ekologis kepada anak-anaknya? Menurut hemat saya, sesuai dengan tingkat perkembangan daya tangkap si anak, orang tua perlu menceritakan (berkisah) tentang apa yang sudah dibahas dalan nomor 1 dan 2 Surat Gembala Prapaskah ini. Orang tua dan kakak-kakak perlu berkisah kepada anggota keluarga yang masih kecil tentang betapa indahnya rencana Allah pada awal mula ketika menciptakan langit dan bumi serta isinya, yang memuncak pada penciptaan manusia, Adam dan Hawa. Tetapi rencana Tuhan yang indah itu dirusak oleh dosa manusia, yang melawan perintah Tuhan dan mau menjadi Tuhan sendiri. Selanjutnya berkisah tentang dosa terhadap Allah adalah sekaligus dosa terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan. Dalam berkisah mengenai semua segi itu, hendaknya diberi contoh-contoh nyata dari apa yang terjadi dewasa ini akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam: pengotoran air akibat pembuangan sampah dan limbah industri secara sembarangan; polusi udara; banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan; perubahan iklim yang tidak menentu; panas bumi yang semakin meningkat yang mengancam cairnya gunung es di kutub selatan, dan akan menyebabkan permukaan bumi yang rendah akan tenggelam; dst. Tetapi anak-anak juga harus dididik untuk memelihara lingkungannya, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan, menanam tanaman dan pohon. Sesekali juga hendaknya seluruh keluarga mengadakan wisata alam.
Akhirnya, selamat menjalani Masa Prapaskah, khususnya selamat memulai gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga Anda! Tuhan memberkati kita semua!
Di atas kita terutama mengarahkan pesan ekologis kepada orang tua dalam keluarga. Tentu saja kita tidak boleh melupakan anak-anak, generasi penerus yang akan mewarisi bumi sebagai rumah bersama dan sebagai “ibu yang menopang dan membimbing kita, dan yang menghasilkan berbagai jenis buah-buahan dengan bebungaan berwarna-warni serta bumbu-bumbuan” (Madah Makhluk Fransiskus Asisi; Laudato Si’, no. 1).
Gereja selalu memandang keluarga sebagai sekolah pertama. Dasar pertimbangannya ialah karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak. Oleh sebab itu orang tua terikat kewajiban teramat berat untuk mendidik anak-anak mereka; orang tualah pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Dalam keluargalah anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja. Melalui keluargalah akhirnya mereka lambat laun diajak berintegrasi dalam masyarakat manusia dan umat Allah dalam dunia (lih. GE,1).
Kecuali itu, harus disadari betapa pentingnya pendidikan nilai bagi anak-anak kita sejak dini. Sebab apa yang diterima dan dialami anak manusia pada masa kecilnya akan tetap tinggal dan berpengaruh dalam hidupnya di masa dewasa. Semakin dalam pengalaman di masa kecil itu tertanam, akan semakin besar pengaruhnya kelak dalam hidupnya sampai akhir. Karena itu pendidikan berwawasan ekologis bagi anak-anak amat penting dan sangat strategis.
Lalu apa yang secara konkret dapat diberikan orang tua dalam pendidikan berwawasan ekologis kepada anak-anaknya? Menurut hemat saya, sesuai dengan tingkat perkembangan daya tangkap si anak, orang tua perlu menceritakan (berkisah) tentang apa yang sudah dibahas dalan nomor 1 dan 2 Surat Gembala Prapaskah ini. Orang tua dan kakak-kakak perlu berkisah kepada anggota keluarga yang masih kecil tentang betapa indahnya rencana Allah pada awal mula ketika menciptakan langit dan bumi serta isinya, yang memuncak pada penciptaan manusia, Adam dan Hawa. Tetapi rencana Tuhan yang indah itu dirusak oleh dosa manusia, yang melawan perintah Tuhan dan mau menjadi Tuhan sendiri. Selanjutnya berkisah tentang dosa terhadap Allah adalah sekaligus dosa terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan. Dalam berkisah mengenai semua segi itu, hendaknya diberi contoh-contoh nyata dari apa yang terjadi dewasa ini akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam: pengotoran air akibat pembuangan sampah dan limbah industri secara sembarangan; polusi udara; banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan; perubahan iklim yang tidak menentu; panas bumi yang semakin meningkat yang mengancam cairnya gunung es di kutub selatan, dan akan menyebabkan permukaan bumi yang rendah akan tenggelam; dst. Tetapi anak-anak juga harus dididik untuk memelihara lingkungannya, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan, menanam tanaman dan pohon. Sesekali juga hendaknya seluruh keluarga mengadakan wisata alam.
Akhirnya, selamat menjalani Masa Prapaskah, khususnya selamat memulai gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga Anda! Tuhan memberkati kita semua!
Makassar, 17 Februari 2017
+John Liku-Ada’
+John Liku-Ada’