Search by Google

PROMOSI

Senin, 21 Oktober 2019

Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Pangan Sedunia Tahun 2019

Kepada Yang terhormat
Mr. Qu Dongyu
Direktur Jenderal FAO
Perayaan tahunan Hari Pangan Sedunia menggemakan seruan dramatis dari begitu banyak saudara-saudari kita yang terus menderita karena tragedi kelaparan dan kekurangan gizi. Meskipun sudah diusahakan pelbagai upaya dalam beberapa dekade terakhir; Agenda 2030 untuk pengembangan berkelanjutan tetap harus diimplementasikan di pelbagai bagian dunia. Sebagai tanggapan atas seruan kemanusiaan ini, tema yang diusulkan oleh FAO tahun ini adalah: “Tindakan kita adalah masa depan kita. Makanan sehat untuk dunia” #FameZero: (nol kelaparan-tidak ada lagi yang kelaparan) – menyoroti distorsi antara kombinasi makanan dan gizi.
Kita sebenarnya sedang menyaksikan bagaimana makanan berhenti menjadi sarana subsisten dan berubah menjadi sarana kehancuran pribadi. Ada 820 juta orang di dunia sedang menderita kelaparan, sementara hampir 700 juta orang kelebihan berat badan, korban dari kebiasaan makan yang tidak tepat. Mereka yang kelebihan berat badan ini bukan lagi produk sampingan dari cara makan “bangsa yang diberkati dengan kelimpahan” (cf. Paul VI, ensiklik Populorum progressio, 3), tetapi mereka ini, sekarang dapat ditemukan di negara yang lebih miskin juga, di mana mereka makan sedikit tetapi semakin buruk, karena mereka meniru model makanan yang diimpor dari daerah yang lebih maju.
Karena malnutrisi, penyebab, proses dan perkembangan penyakit tidak hanya dirujuk pada ketidakseimbangan yang disebabkan “oleh kelebihan” dan mengakibatkan orang menderita diabetes, penyakit kardiovaskular dan aneka bentuk lain dari penyakit degeneratif, tetapi juga, oleh “Cacat”, sebagaimana didokumentasikan oleh meningkatnya jumlah kematian karena anorexia dan bulimia.
Kenyataan tadi menunjukkan bahwa kita perlu mengubah cara kita bertindak, dan nutrisi adalah titik awal yang penting. Mari kita hidup dari hasil-hasil ciptaan (Bdk.Mzm. 65:10-14; 104:27-28) yang tidak dapat direduksi menjadi sekedar obyek untuk digunakan dan dikuasai. Gangguan akibat nutrisi hanya dapat dilawan dengan memupuk gaya hidup yang diinspirasikan oleh rasa syukur atas apa yang sudah kita terima, sambil mendalami gaya hidup sederhana, kontrol diri, berpantang, penguasaan diri dan solider. Inilah keutamaan-keutamaan yang sudah sejak dulu dihidupi manusia dalam sejarahnya. Yang dimaksud sebenarnya adalah kita kembali pada kesederhanaan dan ketenangan dan menghidupi setiap saat dari keberadaan kita dengan semangat yang terarah pada kebutuhan sesama.
Dengan begitu kita dapat mengkosolidasikan ikatan-ikatan kita dalam sebuah persaudaraan demi kebaikan bersama dan menghindari individualisme dan egosentrisme, yang hanya menghasilkan kelaparan dan ketidaksetaraan sosial. Sebuah gaya hidup yang memungkinkan kita untuk menumbuhkan hubungan yang sehat dengan diri kita sendiri, dengan saudara-saudari kita dan dengan lingkungan di mana kita hidup.
Untuk mengasimilasi corak hidup seperti sudah dikatakan tadi, keluarga mendapat posisi utama, karena itulah mengapa FAO telah memberi perhatian khusus terhadap keluarga-keluarga pedesaan dan telah mempromosikan pertanian keluarga. Dalam keluarga, dan berkat sensitivitas perempuan dan keibuaan, orang belajar menikmati hasil-hasil bumi tanpa disalahgunakan dan orang menemukan sarana terbaik untuk menyebarkan gaya hidup yang menghormati kebaikan pribadi dan bersama.
Di sisi lain, saling ketergantungan antara negara yang berlangsung saat ini, dapat membantu untuk menyisihkan kepentingan-kepentingan tertentu dan memupuk kepercayaan dan persahabatan antar warga masyarakat (bdk. Kompendium, ajaran sosial Gereja, 482). Saya berharap tema tahun ini akan membantu kita untuk tidak lupa, ada orang-orang yang masih makan dalam cara yang tidak sehat.
Sungguh kejam, tidak adil dan paradoksal, pada masa kini ketika ada makanan untuk semua orang, tetapi tidak semua boleh mengaksesnya. Atau ada daerah di dunia di mana makanannya berlimpah-limpah, dibuang, dikonsumsi berlebihan atau dimanfaatkan untuk tujuan lain bukan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam rangka untuk keluar dari spiral masalah ini, harus dipromosikan “Lembaga-lembaga ekonomi dan program-program sosial yang memungkinkan mereka yang paling miskin mengakses sumber-sumber kehidupan yang mendasar secara regular. (bdk. Laudato si ‘, 109).
Perjuangan melawan kelaparan dan gizi buruk tidak akan berhenti selama terus-menerus mengedepankan logika pasar dan hanya mementingkan untuk mencari keuntungan, sambil mereduksi nilai makanan hanya sekedar sebuah produk dagang belaka, tunduk pada spekulasi keuangan dan mendistorsi nilai simbolik, sosial dan budaya dari makanan. Keprihatinan utama haruslah senantiasa diarahkan pada pribadi manusia, khususnya mereka yang kekurangan makanan sehari-hari dan yang hampir tidak mampu membangun hubungan keluarga dan sosial (Lihat ibid., 112-113). Ketika manusia ditempatkan di tempat yang tepat, maka operasi bantuan kemanusiaan dan program pembangunan akan berdampak lebih besar dan memberikan hasil yang diinginkan. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang kita kumpulkan dan buang adalah roti orang dari orang-orang miskin.
Bapak direktur Jenderal, inilah beberapa hasil refleksi yang saya ingin bagikan kepada anda pada hari Pangan sedunia ini. Semoga Kiranya Tuhan memberkati Anda semua dan membuat pekerjaan Anda semua sungguh berbuah, sehingga semakin bertambahlah perdamaian dalam pelayanan demi kemajuan otentik dan integral dari seluruh keluarga manusia.
Vatican, 16 Oktober 2019
FRANSISKUS


Selasa, 15 Oktober 2019

Pesan Paus Untuk Hari Minggu Misi Sedunia 2019

Dibaptis dan Diutus:
Gereja Kristus dalam Misi di Dunia
Minggu misi-2019

Saudara dan saudari yang terkasih,

Untuk bulan Oktober 2019, saya telah meminta agar seluruh Gereja menghidupkan kembali kesadaran dan komitmen misionernya bertepatan dengan peringatan seratus tahun Surat Apostolik Maximum Illud yang ditulis oleh Paus Be
nediktus XV (30 November 1919). Visi bijaksana dan kenabiannya tentang kerasulan telah membuat saya menyadari sekali lagi pentingnya membarui komitmen misioner Gereja dan memberikan dorongan Injili yang segar untuk tugas pewartaannya dan membawa keselamatan Yesus Kristus, yang telah mati dan bangkit kembali, kepada dunia.

Judul dari pesan ini sama dengan Bulan Misi Oktober: Dibaptis dan Diutus: Gereja Kristus dalam Misi di Dunia. Merayakan bulan ini akan membantu kita pertama-tama untuk menemukan kembali dimensi misioner dari iman kita kepada Yesus Kristus, iman yang dianugerahkan kepada kita dalam baptisan. Hubungan keputraan kita dengan Tuhan bukanlah sesuatu yang bersifat pribadi, tetapi selalu berkaitan dengan Gereja. Melalui persekutuan kita dengan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, kita, bersama dengan begitu banyak saudara dan saudari kita, dilahirkan untuk kehidupan baru. Kehidupan Ilahi ini bukanlah sebuah produk untuk dijual – kita tidak mempraktikkan proselitisme – melainkan merupakan harta yang harus diberikan, disampaikan dan dinyatakan: itulah makna misi. Kita menerima rahmat ini secara cuma-cuma dan kita membagikannya secara cuma-cuma juga (bdk. Mat. 10:8), tanpa mengecualikan siapapun. Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan dengan mengenal kebenaran dan mengalami belas kasih-Nya melalui pelayanan Gereja, sakramen keselamatan universal (bdk. 1 Tim. 2:4; Lumen Gentium, 48).

Gereja dalam misi di dunia. Iman kepada Yesus Kristus memampukan kita untuk melihat segala sesuatu dalam perspektif yang tepat, seperti ketika kita memandang dunia dengan mata dan hati Allah sendiri. Harapan membuka diri kita kepada cakrawala kekal kehidupan Ilahi yang kita bagikan. Kasih amal, yang darinya kita memiliki gambaran realitas dalam sakramen-sakramen dan dalam kasih persaudaraan, mendorong kita untuk pergi ke ujung bumi (bdk. Mik. 5:4; Mat. 28:19; Kis. 1:8; Rm. 10:18). Gereja yang terus maju ke batas terjauh membutuhkan pertobatan misioner yang berkelanjutan dan konstan. Berapa banyak orang kudus, berapa banyak pria dan wanita beriman, yang menyaksikan fakta bahwa keterbukaan tanpa batas ini, yang muncul dalam belas kasih, memang sesuatu yang mungkin dan realistis, karena didorong oleh cinta dan makna terdalamnya sebagai hadiah, pengorbanan, dan secara cuma-cuma (bdk. 2 Kor. 5:14-21)! Orang yang berkhotbah tentang Tuhan haruslah seorang abdi Allah (bdk. Maximum Illud).

Mandat misioner ini menyentuh kita secara pribadi: Saya adalah sebuah misi, selalu; Anda adalah sebuah misi, selalu; setiap pria dan wanita yang telah dibaptis adalah sebuah misi. Orang yang jatuh cinta tidak pernah berdiam: mereka ditarik keluar dari diri mereka sendiri; mereka tertarik dan menarik orang lain secara bergiliran; mereka memberikan diri mereka kepada orang lain dan membangun hubungan yang membawa hidup. Sejauh menyangkut kasih Allah, tidak ada seorangpun yang tidak berguna atau tidak berarti. Kita masing-masing adalah misi untuk dunia, karena kita masing-masing adalah buah dari kasih Allah. Bahkan jika orang tua dapat mengkhianati cinta mereka dengan kebohongan, kebencian dan perselingkuhan, Tuhan tidak pernah mengambil kembali hadiah kehidupan-Nya. Dari keabadian, Ia telah menentukan bagi masing-masing anak-Nya untuk berbagi dalam kehidupan Ilahi dan kekal-Nya (bdk. Ef. 1:3-6).

Kehidupan ini dianugerahkan kepada kita dalam baptisan, yang memberi kita karunia iman kepada Yesus Kristus, Penakluk dosa dan kematian. Baptisan memberi kita kelahiran kembali dalam gambar dan rupa Allah sendiri, dan menjadikan kita anggota Tubuh Kristus, yang adalah Gereja. Dalam hal ini, pembaptisan benar-benar diperlukan untuk keselamatan karena itu memastikan bahwa kita selalu dan di manapun merupakan putra dan putri di rumah Bapa, dan tidak pernah menjadi yatim piatu, orang asing atau budak. Apa yang ada dalam orang Kristiani adalah realitas sakramental – yang penggenapannya ditemukan dalam Ekaristi – tetap menjadi panggilan dan tujuan dari setiap pria dan wanita dalam mencari pertobatan dan keselamatan. Sebab baptisan memenuhi janji karunia Allah yang menjadikan setiap orang putra atau putri di dalam Anak. Kita adalah anak-anak dari orang tua kandung kita, tetapi dalam baptisan kita menerima asal mula dari semua kebapaan dan keibuan sejati: tidak seorangpun dapat memiliki Allah sebagai Bapa tanpa memiliki Gereja sebagai ibu (bdk. Santo Siprianus, Kesatuan dalam Gereja, 4).

Misi kita, dengan demikian, berakar pada kebapaan Allah dan keibuan Gereja. Mandat yang diberikan oleh Yesus yang bangkit pada Paskah melekat dalam pembaptisan: sebagaimana Bapa telah mengutus Aku, demikianlah Aku mengutus kamu, dipenuhi dengan Roh Kudus, untuk perdamaian dunia (bdk. Yoh. 20:19-23; Mat. 28:16-20). Misi ini adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Kristiani; hal itu membuat kita bertanggung jawab dalam memungkinkan semua pria dan wanita untuk mewujudkan panggilan mereka menjadi anak-anak yang diangkat Bapa, untuk mengakui martabat pribadi mereka dan untuk menghargai nilai intrinsik setiap kehidupan manusia, mulai dari konsepsi hingga kematian yang alami. Sekularisme yang merajalela saat ini, ketika hal itu menjadi penolakan budaya yang agresif terhadap kebapaan aktif Tuhan dalam sejarah kita, hal itu menjadi hambatan bagi persaudaraan manusia yang otentik, yang terungkap dalam saling menghormati kehidupan setiap orang. Tanpa Tuhan Yesus Kristus, setiap perbedaan direduksi menjadi ancaman yang menyedihkan, yang membuat tidak mungkin adanya persaudaraan yang nyata dan kesatuan yang berbuah di dalam umat manusia.

Universalitas keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan dalam Yesus Kristus menuntun Paus Benediktus XV untuk menyerukan diakhirinya semua bentuk ego nasionalisme dan etnosentrisme, atau penggabungan pewartaan Injil dengan kepentingan ekonomi dan militer kekuatan kolonial. Dalam Surat Apostoliknya Maximum Illud, Paus mencatat bahwa misi universal Gereja menuntut dikesampingkannya gagasan keanggotaan eksklusif seseorang di negara dan kelompok etnis tertentu. Keterbukaan budaya dan komunitas terhadap kebaruan Yesus Kristus yang menyelamatkan membuat kita harus meninggalkan segala jenis introversi etnis dan gerejawi yang tidak semestinya. Saat ini juga, Gereja membutuhkan pria dan wanita yang berdasarkan pembaptisan mereka, menanggapi dengan murah hati panggilan untuk meninggalkan rumah, keluarga, negara, bahasa dan Gereja lokal, dan untuk dikirim ke negara-negara, ke dunia yang belum diubah oleh sakramen-sakramen Yesus Kristus dan Gereja-Nya yang kudus. Dengan menyatakan firman Allah, memberikan kesaksian akan Injil dan merayakan kehidupan Roh, mereka memanggil kepada pertobatan, membaptis dan menawarkan keselamatan Kristiani, dengan menghormati kebebasan setiap orang dan dalam dialog dengan budaya dan agama orang-orang yang kepadanya mereka dikirim. Missio ad gentes (misi kepada bangsa-bangsa, kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus), yang selalu penting bagi Gereja, dengan demikian berkontribusi secara mendasar dalam proses pertobatan yang berkelanjutan pada semua orang Kristiani. Iman dalam peristiwa Paskah Yesus; misi gerejani diterima dalam baptisan; pelepasan unsur geografis dan budaya seseorang dari diri dan tanah airnya; kebutuhan akan keselamatan dari dosa dan pembebasan dari kejahatan pribadi dan sosial: semua ini menuntut misi sampai ke ujung bumi.

Kebetulan tak disengaja tahun keseratus Maximum Illud ini bersamaan dengan perayaan Sinode Khusus tentang Gereja-Gereja di Amazon. Peristiwa ini memungkinkan saya untuk menekankan bagaimana misi yang dipercayakan kepada kita oleh Yesus dengan karunia Roh-Nya juga tepat waktu dan diperlukan untuk negeri-negeri dan masyarakat mereka. Pentakosta yang dibarui membuka lebar pintu Gereja, agar tidak ada budaya yang tetap tertutup pada dirinya sendiri dan tidak ada orang yang terputus dari persekutuan universal iman. Tidak seorang pun harus tetap tertutup dalam kepentingan diri sendiri, dalam referensialitas diri dari afiliasi etnis dan agama mereka sendiri. Peristiwa Paskah Yesus menerobos batas sempit dunia-dunia, agama-agama dan budaya-budaya, memanggil mereka untuk tumbuh dalam menghormati martabat pria dan wanita, dan menuju pengubahan yang lebih dalam kepada kebenaran Tuhan Yang Bangkit yang memberikan kehidupan otentik kepada semua orang.

Di sini saya diingatkan akan kata-kata Paus Benediktus XVI di awal pertemuan para Uskup Amerika Latin di Aparecida, Brasil, pada tahun 2007. Saya ingin mengulangi kata-kata ini dan menjadikannya kata-kata saya sendiri: “Namun apa arti penerimaan Iman Kristiani bagi bangsa-bangsa Amerika Latin dan Karibia? Bagi mereka, hal tersebut berarti mengenal dan menyambut Kristus, Allah yang tidak dikenal yang telah dicari oleh leluhur mereka, tanpa menyadari hal tersebut dalam tradisi keagamaan mereka yang kaya. Kristus adalah Juruselamat yang mereka rindukan dalam hati. Itu juga berarti bahwa mereka menerima, dalam air baptisan, kehidupan Ilahi yang menjadikan mereka anak-anak Allah melalui pengangkatan; selain itu, mereka menerima Roh Kudus yang datang untuk membuat budaya mereka berbuah, memurnikan mereka dan mengembangkan banyak benih yang telah ditanam oleh Firman yang berinkarnasi di dalam mereka, dengan demikian menuntun mereka di sepanjang jalan Injil […] Firman Allah, menjadi manusia di dalam Yesus Kristus, juga menjadi sejarah dan budaya. Utopia untuk kembali hidup dalam agama-agama yang ada sebelum Kolombia terbentuk, memisahkan mereka dari Kristus dan dari Gereja universal, tidak akan menjadi langkah maju: melainkan menjadi langkah mundur. Pada kenyataannya, hal itu akan menjadi sebuah kemunduran menuju tahap dalam sejarah yang berlabuh di masa lalu” (Ceramah di Sesi Pelantikan, 13 Mei 2007: Insegnamenti III, 1 [2007], 855-856).

Kita memercayakan misi Gereja kepada Maria Bunda kita. Dalam persatuan dengan Putranya, sejak saat Inkarnasi Perawan Yang Terberkati memulai perjalanan peziarahannya. Maria sepenuhnya terlibat dalam misi Yesus, sebuah misi yang menjadi miliknya di kaki Salib: misi untuk bekerja sama, sebagai Bunda Gereja, dalam membawa putra dan putri Allah yang baru untuk dilahirkan dalam Roh dan iman.

Saya ingin menyimpulkan dengan sebuah kata singkat tentang Karya Kepausan, yang sudah diusulkan dalam Maximum Illud sebagai sumber daya misionaris. Karya Kepausan melayani universalitas Gereja sebagai jaringan dukungan global bagi Paus dalam komitmen misionernya melalui doa, jiwa misi, dan persembahan amal dari umat Kristiani di seluruh dunia. Sumbangan mereka membantu Paus dalam upaya evangelisasi Gereja-Gereja tertentu (Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman), dalam pembentukan iman setempat (Serikat Kepausan Santo Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan), dalam meningkatkan kesadaran misioner anak-anak (Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner) dan dalam mendorong dimensi misioner dari iman Kristiani (Serikat Kepausan Persekutuan Misioner). Dalam membarui dukungan saya untuk Serikat-Serikat ini, saya percaya bahwa Bulan Misi Luar Biasa pada Oktober 2019 akan berkontribusi pada pembaruan pelayanan misioner mereka kepada pelayanan saya.

Kepada para misionaris pria dan wanita, dan kepada semua orang yang berdasarkan pembaptisan mereka, berbagi dengan cara apapun dalam misi Gereja, saya mengirimkan berkat saya yang tulus.

Dari Vatikan

Hari Raya Pentakosta, 9 Juni 2019

FRANSISKUS