Search by Google

PROMOSI

Minggu, 22 Oktober 2023

PROFICIAT




Pada Sabtu, 21 Oktober 2023 pada jam 17.00 WIB (
jam 12.00 waktu Roma) Bapa Suci Fransiskus telah mengangkat Pastor Fransiskus Nipa Pr menjadi Uskup Agung Koajutor terpilih, Keuskupan Agung Makassar.

Pengangkatan ini diumumkan oleh Tahta Suci Vatikan lewat Vatikan Press.

Sebagai Uskup Koajutor Uskup Fransiskus Nipa menjadi menjalankan tugas sebagai uskup yang membantu menjalankan pelayanan uskup saat ini, yakni Mgr John Liku sampai pengunduran diri Uskup John diterima sepenuhnya oleh Tahta Suci Vatikan.

Karena kondisi kesehatannya, Uskup John telah mengajukan diangkatnya Uskup Agung Koajutor dan telah disetujui oleh Tahta Suci Vatikan.

Berikut ini Curriculum Vitae Uskup Agung Koajutor terpilih:

Pastor Fransiskus Nipa lahir di Makale, Tana Toraja, pada tanggal 29 Januari 1964. Menerima Tahbisan Imamat pada tanggal 03 Juli 1990.

Setelah Menerima Tahbisan Imamatnya, ia mengemban beberapa jabatan sebagai berikut:

Vikaris Paroki Messawa – Mamasa (1990-1995),

Pastor Paroki Polewali (1995-1997),

Vikaris Paroki “Maria Ratu Rosario” Kare-Makassar (1997-1998)

Ia mengambil studi Hukum Gereja di Roma (1998-2000) dan memperoleh gelar lisensiat.

Kemudian ia telah melayani dalam berbagai posisi, antara lain:

Defensor Vinculi II Tribunal Keuskupan Agung Makassar (2000),

Direktur Seminari Tahun Orientasi Rohani (2000-2022),

Dosen di Sekolah Tinggu Kataketik dan Pastoral Rantepao (STIKPAR) (2002-sekarang),

Sekretaris Tim Perumusan Program Pastoral Keuskupan Agung Makassar (2003-2004),

Hakim Tribunal Keuskupan Agung Makassar (2005-sekarang),

Vikaris Yudisial (2006-sekarang),

Anggota ex officio Dewan Iman dan Kolegium Konsultor (2008-sekarang),

Sekretaris Panitia Persiapan Sinode Keuskupan 2012 (2012-2012),

Vikaris Paroki Katedral “Hati Kudus”, (2013-sekarang),

Pastor Paroki Katedral (September 2022-sekarang).

Sabtu, 14 Oktober 2023

Kunjungan PPK & Seksi Kerawam Paroki FX ke Stasi Wawo Indah

Setiap Minggu ke II dalam bulan, tim Petugas Pembagi Komuni (PPK) atau yang lebih dikenal dengan nama Prodiakon, berkunjung ke Stasi-stasi dalam wilayah Paroki Santo Fransiskus Xaverius untuk membimbing Ibadat Hari Minggu tanpa Imam sekaligus mengantar Komuni Kudus kepada umat yang rindu bersatu dengan Sang Kristus. Dalam Kunjungan ke Stasi Santo Matius Penginjil Wawo Indah kali ini, PPK di dampingi seksi Kerawam. Mereka mengikuti Doa Rosario di Rukun Santa Maria Perawan Termurni. Setelah doa Rosario, seksi Kerawam dan umat berdiskusi tentang Politik khususnya menghadapi Pemilu tahun 2024. Dimana umat harus berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu agar dapat memilih wakil rakyat serta pemimpin yang tepat sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja.



Minggu, 08 Oktober 2023

Pesan Paus untuk Hari Minggu Misi Sedunia 2023

 

PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS

UNTUK HARI MINGGU MISI SEDUNIA KE-97

22 Oktober 2023

 

 

Hati berkobar-kobar, kaki bergegas pergi mewartakan Injil

(bdk. Luk. 24:13-35)

Saudara dan saudari terkasih!

 

Untuk Minggu Misi Sedunia tahun ini, saya telah memilih tema yang diilhami oleh kisah dua murid dalam perjalanan ke Emaus, di Injil Lukas (bdk. 24:13-35), “Hati berkobar-kobar, kaki bergegas pergi mewartakan Injil“. Awalnya kedua murid itu bingung dan cemas, namun perjumpaan mereka dengan Kristus dalam sabda dan pemecahan roti membangkitkan keinginan yang besar dalam diri mereka untuk berangkat kembali ke Yerusalem dan menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah bangkit. Dalam kisah Injil, kita melihat perubahan pada diri murid-murid ini melalui beberapa gambaran yang tampak: hati mereka berkobar-kobar ketika mereka mendengar Yesus menjelaskan Kitab Suci, mata mereka terbuka mengenali-Nya, dan akhirnya, kaki mereka bergegas melangkah pergi. Dengan merenungkan ketiga gambaran ini, yang mencerminkan perjalanan semua murid yang diutus, kita dapat membarui semangat kita untuk penginjilan di dunia saat ini.

 

1. Hati kita berkobar-kobar “ketika Dia menjelaskan Kitab Suci kepada kita”. Dalam kegiatan-kegiatan misioner, sabda Allah mengubah dan menerangi hati.

 

Dalam perjalanan dari Yerusalem ke Emaus, kedua murid itu putus asa, seperti terlihat pada wajah mereka yang muram, karena kematian Yesus yang mereka imani (bdk. ayat 17). Dihadapkan pada kegagalan Sang Guru yang telah disalibkan, harapan mereka bahwa Dialah Sang Mesias telah runtuh (lih. ayat 21).

 

Kemudian, “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, Yesus sendiri yang mendekati mereka, lalu berjalan bersama dengan mereka” (ayat 15). Seperti ketika Ia pertama kalinya memanggil para murid, saat itu juga, di tengah kebingungan mereka, Tuhan mengambil inisiatif. Dia mendekati dan berjalan di samping mereka. Demikian pula, dalam belas kasih-Nya yang besar, Ia tidak pernah lelah menyertai kita, terlepas dari semua kegagalan, keraguan, kelemahan, dan kecemasan serta pesimisme yang membuat kita, orang-orang yang beriman kerdil, menjadi “bodoh dan lamban hati” (ayat 25).

 

Saat ini, seperti saat itu juga, Tuhan Yang Bangkit tetap dekat dengan para murid misionaris-Nya dan berjalan di samping mereka, terutama ketika mereka merasa bingung, putus asa, takut akan misteri ketidakadilan yang mengelilingi dan berusaha menguasai mereka. Maka, “jangan biarkan diri kita kehilangan harapan!” (Evangelii Gaudium, 86). Tuhan lebih besar dari semua masalah kita, terutama masalah-masalah yang muncul dalam misi kita untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Karena pada akhirnya misi ini adalah milik-Nya dan kita tidak lebih dari rekan sekerja-Nya yang rendah hati, “hamba-hamba yang tidak berguna” (bdk. Luk. 17:10).

 

Saya hendak mengungkapkan kedekatan saya di dalam Kristus kepada semua misionaris pria dan wanita di dunia, terutama kepada mereka yang sedang menanggung kesulitan dalam bentuk apa pun. Teman-teman terkasih, Tuhan Yang Bangkit selalu bersamamu. Dia melihat kemurahan hati dan pengorbanan yang Anda lakukan untuk misi penginjilan di negeri-negeri yang jauh. Hidup kita tidak selalu tenang dan tidak berawan, tetapi janganlah kita pernah lupa akan kata-kata Tuhan Yesus kepada sahabat-sahabat-Nya sebelum sengsara-Nya: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia!” (Yoh. 16:33).

 

Setelah mendengarkan kedua murid dalam perjalanan ke Emaus, Yesus Yang Bangkit, “mulai menjelaskan  kepada mereka  apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab Nabi-nabi” (Luk. 24:27). Hati para murid bergairah, sebagaimana mereka kemudian saling mengungkapkan isi hati mereka, “Bukankah hati kita berkobar-kobar, saat Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan saat Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (ayat 32). Yesus sendiri adalah Sabda yang hidup, satu-satunya yang dapat membuat hati kita terbakar di dalam diri kita, ketika Ia menerangi dan mengubahnya.

 

Dengan cara ini, kita dapat lebih memahami ucapan Santo Hieronimus bahwa “ketidaktahuan akan Kitab Suci adalah ketidaktahuan akan Kristus” (Penjelasan dalam Prolog – Yesaya). “Tanpa Tuhan yang memperkenalkannya pada kita, mustahil bagi kita untuk memahami Kitab Suci secara mendalam; begitu pun sebaliknya: tanpa Kitab Suci, peristiwa-peristiwa misi Yesus dan Gereja-Nya di dunia tetap tidak terbaca” (Aperuit Illis, 1). Oleh karena itu, pengetahuan akan Kitab Suci penting bagi kehidupan Kristiani, dan terlebih lagi untuk pewartaan akan Kristus serta Injil-Nya. Kalau tidak demikian, apa yang Anda sampaikan kepada orang lain jika bukan hanya sekadar ide dan proyek Anda sendiri? Hati yang dingin tidak akan pernah bisa membuat hati lain terbakar!

 

Untuk  itu marilah kita tanpa ragu selalu membiarkan diri kita ditemani oleh Tuhan Yang Bangkit saat Dia menjelaskan kepada kita arti Kitab Suci. Semoga Dia membuat hati kita berkobar-kobar di dalam diri kita. Semoga Ia menerangi dan mengubah kita, sehingga kita dapat mewartakan misteri keselamatan-Nya kepada dunia dengan kuasa dan hikmat yang berasal dari Roh-Nya.

 

2. Mata kita “terbuka dan mengenali-Nya” saat pemecahan roti. Yesus dalam Ekaristi adalah sumber dan puncak misi.

 

Kenyataan bahwa hati mereka berkobar-kobar karena firman Tuhan, mendorong dua murid Emaus untuk meminta si Pengelana misterius tinggal bersama mereka saat malam semakin dekat. Ketika mereka berkumpul di sekitar meja perjamuan, mata mereka terbuka dan mereka mengenali-Nya saat Dia memecahkan roti. Unsur penentu yang membuka mata para murid adalah urutan tindakan yang dilakukan Yesus: Dia mengambil roti, memberkatinya, memecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Itu adalah gerakan yang lazim dilakukan seorang kepala rumah tangga Yahudi, tetapi, ketika itu dilakukan oleh Yesus Kristus dengan rahmat Roh Kudus, gerakan itu dibarui bagi kedua rekan seperjamuan-Nya, simbol penggandaan roti dan terutama simbol Ekaristi, sakramen kurban salib. Namun, pada saat mereka mengenali Yesus yang sedang memecahkan roti, “Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (Luk. 24:31). Di sini kita dapat mengenali realitas esensial dari iman kita: Kristus, yang memecahkan roti, sekarang menjadi Roti yang dipecahkan, dibagikan kepada para murid dan dimakan oleh mereka. Dia tidak terlihat lagi, karena sekarang Dia telah memasuki hati para murid, untuk membuat mereka semakin terbakar, sehingga mendorong mereka bergegas pergi untuk berbagi dengan semua orang pengalaman unik mereka berjumpa dengan Tuhan Yang Bangkit. Maka, Kristus Yang Bangkit adalah Orang yang memecahkan roti, dan pada saat yang sama, merupakan Roti itu sendiri, terpecah bagi kita. Oleh karena itu, setiap murid yang diutus dipanggil untuk menjadi seperti Yesus dan di dalam Dia melalui karya Roh Kudus, sebagai orang yang memecahkan roti dan orang yang menjadi roti yang terpecah bagi dunia.

 

Di sini harus diingat bahwa membagikan roti milik kita kepada orang yang lapar dalam nama Kristus sudah merupakan sebuah karya misi Kristiani. Terlebih lagi pemecahan roti Ekaristi, yaitu Kristus sendiri, merupakan sebuah karya misi yang luar biasa (par excellence), karena Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan dan misi Gereja.

 

Seperti yang ditunjukkan oleh Paus Benediktus XVI, “Kita tidak dapat menyimpan sendiri kasih yang kita rayakan dalam Sakramen [Ekaristi]. Pada dasarnya, kasih itu menuntut untuk dikomunikasikan kepada semua orang. Yang dibutuhkan dunia adalah kasih Allah, untuk berjumpa dengan Kristus dan percaya kepada-Nya. Untuk alasan  inilah Ekaristi bukan sekadar sumber dan puncak kehidupan Gereja; Ekaristi juga merupakan sumber dan puncak misi Gereja: ‘Gereja Ekaristi yang otentik adalah Gereja misioner’” (Sacramentum Caritatis, 84).

 

Untuk menghasilkan buah, kita harus tetap bersatu dengan Yesus (bdk. Yoh. 15:4-9). Persatuan ini dapat dicapai melalui doa harian, khususnya dalam adorasi Ekaristi, saat kita berdiam diri di hadirat Tuhan, yang tinggal bersama kita dalam Sakramen Mahakudus. Dengan penuh kasih memupuk persekutuan dengan Kristus, murid yang diutus dapat menjadi seorang mistikus dalam perbuatan. Semoga hati kita selalu merindukan persekutuan dengan Yesus, menggemakan permohonan yang berapi-api dari kedua murid Emaus, terutama di malam hari, “Tinggallah bersama kami, Tuhan!” (bdk. Luk. 24:29).

 

3. Kaki kita bergegas pergi, dengan sukacita menceritakan kepada orang lain tentang Kristus Yang Bangkit. Keabadian masa muda sebuah Gereja yang selalu pergi keluar.

 

Setelah mata mereka terbuka dan mereka mengenali Yesus “sedang memecahkan roti”, para murid “lekas-lekas berangkat dan terus kembali ke Yerusalem” (bdk. Luk. 24:33). Ketergesa-gesaan untuk berbagi dengan orang lain akan sukacita berjumpa Tuhan, menunjukkan bahwa “sukacita Injil memenuhi hati dan seluruh hidup mereka yang berjumpa dengan Yesus. Mereka yang membiarkan diri mereka diselamatkan oleh-Nya untuk dibebaskan dari dosa, kesedihan, kekosongan batin, dan keterasingan. Bersama Yesus Kristus, sukacita selalu lahir dan lahir kembali” (Evangelii Gaudium, 1). Seseorang tidak dapat benar-benar menjumpai Yesus Yang Bangkit tanpa dibakar dengan antusiasme untuk mewartakan-Nya pada semua orang. Oleh karena itu, sumber utama dan dasar dari misi adalah orang-orang yang telah mengenal Kristus Yang Bangkit di dalam Kitab Suci dan di dalam Ekaristi, yang membawa api-Nya di dalam hati mereka dan terang-Nya di dalam tatapan mereka. Mereka mampu menjadi saksi akan hidup yang tidak pernah mati, bahkan di dalam situasi-situasi tersulit dan di saat-saat tergelap sekalipun.

 

Gambaran “kaki yang bergegas pergi” mengingatkan kita sekali lagi akan keabsahan abadi misi kepada segala bangsa (missio ad gentes), misi yang dipercayakan kepada Gereja oleh Tuhan Yang Bangkit untuk menginjili semua orang dan bangsa, bahkan sampai ke ujung bumi. Saat ini, lebih dari sebelumnya, keluarga manusia kita yang terluka oleh begitu banyak situasi ketidakadilan, perpecahan dan peperangan, membutuhkan Kabar Baik tentang perdamaian dan keselamatan di dalam Kristus. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan kembali bahwa “setiap orang berhak menerima Injil. Umat Kristiani berkewajiban untuk memberitakannya tanpa mengecualikan siapa pun, bukan sebagai orang yang memaksakan kewajiban baru, tetapi sebagai orang yang berbagi sukacita, yang menunjukkan suatu cakrawala yang indah, dan menawarkan suatu perjamuan yang menggiurkan” (Evangelii Gaudium, 14). Pertobatan misioner tetap merupakan tujuan utama yang harus kita tetapkan bagi diri kita sendiri baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, karena “paradigma misioner merupakan model bagi semua kegiatan Gereja” (ibid., 15).

 

Seperti yang ditegaskan oleh Rasul Paulus, kasih Kristus menguasai dan mendesak kita (bdk. 2 Kor. 5:14). Kasih ini rangkap: kasih Kristus bagi kita, yang memanggil, mengilhami dan membangkitkan kasih kita untuk-Nya. Sebuah kasih yang membuat Gereja secara terus-menerus berangkat pergi dengan cara baru, selalu muda. Kepada semua anggotanya dipercayakan misi pewartaan Injil Kristus, dengan keyakinan bahwa “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (ayat 15). Kita semua dapat berkontribusi pada gerakan misioner ini melalui doa-doa dan kegiatan-kegiatan kita, dengan persembahan materi dan penderitaan kita, serta dengan kesaksian pribadi kita. Serikat Misi Kepausan adalah sarana istimewa untuk memupuk kerja sama misioner ini baik di tingkat spiritual maupun material. Oleh karenanya, kolekte yang terkumpul pada Minggu Misi Sedunia dikhususkan untuk Serikat Kepausan untuk Penyebaran Iman.

 

Urgensi kegiatan misioner Gereja tentunya menuntut kerja sama misioner yang semakin erat di semua pihak anggotanya dan di setiap tingkatan. Ini adalah tujuan penting dari perjalanan sinode yang telah dilakukan Gereja, dipandu oleh kata kunci: persekutuan, partisipasi, dan misi. Perjalanan ini tentu saja bukan berarti Gereja berbalik pada dirinya sendiri; juga bukan keputusan bersama mengenai apa yang harus kita yakini dan praktikkan, atau persoalan pilihan manusia. Sebaliknya, ini merupakan sebuah proses berangkat pergi, dan seperti dua murid Emaus: mendengarkan Tuhan Yang Bangkit. Karena Dia senantiasa datang di antara kita untuk menjelaskan arti Kitab Suci dan memecahkan roti untuk kita, sehingga dengan kuasa Roh Kudus kita dapat menjalankan misi-Nya di dunia.

 

Sama seperti kedua murid Emaus menceritakan kepada yang lain apa yang terjadi di tengah jalan (bdk. Luk. 24:35), demikian juga pewartaan kita akan menjadi kisah sukacita mengenai Kristus Tuhan, hidup, sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya, serta keajaiban yang telah diperbuat oleh kasih-Nya dalam hidup kita.

 

Jadi marilah kita berangkat pergi bermisi, diterangi oleh perjumpaan dengan Tuhan Yang Bangkit dan didorong oleh Roh-Nya. Marilah kita berangkat pergi bermisi dengan hati yang berkobar-kobar, mata terbuka dan kaki yang sigap melangkah. Marilah kita berangkat pergi untuk membakar hati orang lain dengan sabda Allah, membuka mata orang lain kepada Yesus dalam Ekaristi, dan mengajak setiap orang untuk berjalan bersama di jalan perdamaian dan keselamatan yang telah dianugerahkan Allah dalam Kristus kepada seluruh umat manusia.

 

Bunda kami di dalam Perjalanan, Bunda para misionaris Kristus, dan Ratu Misi, doakanlah kami!

 

.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran,

6 Januari 2023,

Hari Raya Penampakan Tuhan

 

FRANSISKUS

Sabtu, 07 Oktober 2023

PELANTIKAN PASTOR PAROKI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS SADOHOA RD. AGUSTINUS MATASAK OLEH VIKEP SULTRA

 Sejak tanggal 1 September 2023 sesuai SK dari Uskup KAMS, Pastor Paroki Sadohoa berganti dari RD. Daud La Bolo ke RD. Agustinus Matasak. Pastor Daud La Bolo diangkat menjadi Pastor Kuasi Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Anduonohu. RD. Agustinus Matasak sebelumnya sebagai Vikaris Parokus Paroki Andalas Makassar. Pastor Agus tiba di Kendari (Sadohoa) tanggal 21 September disambut oleh beberapa pengurus Depas Paroki Sadohoa.

Karena kesibukan Bapak Vikep Sultra melantik para pastor yang juga dimutasi di wilayah Kevikepan Sultra, maka pada hari ini tanggal 8 Oktober 2023 dalam suatu perayaan Ekaristi yang dihadiri banyak umat, RD Agustinus Matasak dilantik dan resmi sebagai pastor paroki Sadohoa.

Rabu, 24 Mei 2023

ZIARAH BULAN MARIA DI STASI DKB I

Ziarah Bulan Maria 2023 akan dilaksanakan pada hari Sabtu - Minggu, 27-28 Mei 2023 di Stasi Maria Ratu Damai DKB I

Adapun acaranya:

Sabtu, 27 Mei 2023 Jam 19.00: Pawai Lilin

Minggu, 28 Mei 2023 Jam 08.00: Jalan Salib dan Misa

Sehubungan itu, Perayaan Ekaristi di Stasi Anduonohu ditiadakan.

Umat diharapkan bergabung bersama umat se paroki di Stasi Maria Ratu Damai DKB I. 

Terima kasih.

Selasa, 16 Mei 2023

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-57

 


“BICARA DENGAN HATI”

 

PESAN PAUS FRANSISKUS

UNTUK HARI KOMUNIKASI SOSIAL DUNIA KE-57

21 Mei 2023

 

Berbicara dari hati menurut kebenaran dalam kasih.”

(Ef. 4: 15)

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Setelah beberapa tahun terakhir ini kita merefleksikan tentang kata kerja “datang dan melihat” serta “mendengarkan” sebagai syarat untuk komunikasi yang baik, dalam Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57 ini, saya ingin berfokus pada “berbicara dengan hati”. Hatilah yang mendorong kita untuk datang, melihat, dan mendengarkan. Dan, hati itu pulalah yang menggerakkan kita berkomunikasi secara terbuka dan ramah.

 

Setelah kita berlatih mendengarkan, yang menuntut kita menunggu dan bersabar, serta tidak memaksakan sudut pandang kita dengan cara yang merugikan, akhirnya kita dapat masuk dalam dinamika dialog dan saling berbagi; tepatnya berkomunikasi dengan ramah. Sekali kita mendengarkan orang lain dengan hati yang murni, kita juga akan mampu berbicara mengikuti kebenaran dalam kasih (bdk. Ef. 4:15). Kita tidak perlu takut mewartakan kebenaran, meskipun terkadang tidak nyaman, tetapi kita melakukannya dengan belas kasih dan dengan hati. Sebab, “program Kristiani––sebagaimana ditulis Paus Benediktus XVI––adalah ‘hati yang melihat’.”[1] Hati menyatakan kebenaran tentang keberadaan kita dengan detaknya dan karena itulah seharusnya kita dengarkan.

 

Kenyataan ini memampukan mereka yang mendengarkan pada gelombang yang sama, untuk merasakan detak jantung orang lain di dalam hatinya sendiri. Dengan demikian, keajaiban karena perjumpaan dapat sungguh terjadi, yaitu membuat kita saling memandang dengan kasih sayang, saling menerima kelemahan satu sama lain dengan rasa hormat, daripada menghakimi berdasarkan kabar angin serta menabur perselisihan dan perpecahan.

 

Yesus memperingatkan kita bahwa setiap pohon dapat dikenali dari buahnya (bdk. Luk. 6:44). “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik; dan orang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya” (ayat 45).

 

Oleh karena itu, agar dapat mengomunikasikan kebenaran dengan kasih, seseorang perlu menyucikan hatinya. Hanya dengan mendengarkan dan berbicara melalui hati yang murni, kita dapat melihat melampaui apa yang tampak dan dapat mengatasi suara-suara tidak jelas yang dalam hal informasi, justru tidak membantu kita memahami dunia yang begitu kompleks. Seruan untuk berbicara dengan hati ini merupakan tantangan yang radikal bagi zaman kita, yang cenderung tidak peduli dan marah, bahkan kerap mengeksploitasi kebenaran dan menyebarkan informasi palsu.

 

Komunikasi yang ramah

 

Berkomunikasi dengan ramah berarti siapa pun yang membaca atau mendengarkan kita, dituntun untuk menyambut keterlibatan kita dalam kegembiraan, ketakutan, harapan, dan penderitaan manusia di zaman kita. Mereka yang berbicara seperti ini mencintai orang lain karena mereka memiliki hati dan sungguh menjaga, melindungi, dan tidak melanggar kebebasan. Gaya seperti ini dapat kita lihat dalam diri “Sang Musafir Misterius” yang berdialog dengan para murid dalam perjalanan menuju Emmaus, sesudah tragedi Golgota.

 

Yesus yang bangkit berbicara dari hati, sambil dengan rasa hormat, menemani perjalanan penderitaan mereka. Yesus juga menawarkan diri dengan penuh kasih, bukan memaksa untuk membuka pikiran mereka agar memahami makna terdalam atas apa yang terjadi. Akhirnya, dengan gembira mereka dapat bersaksi, bahwa hati mereka berkobar-kobar saat Dia berbicara di sepanjang perjalanan sambil menjelaskan makna Kitab Suci (bdk. Luk. 24: 32).

 

Dalam sebuah periode sejarah yang ditandai polarisasi dan pertentangan––bahkan sayangnya komunitas gerejawi pun tidak luput dari situasi ini––komitmen untuk berkomunikasi “dengan hati dan tangan terbuka” menjadi tanggung jawab semua, bukan hanya mereka yang berkarya di bidang komunikasi.

 

Kita semua dipanggil untuk mencari, mewartakan, dan menghidupi kebenaran dengan kasih. Secara khusus, kita sebagai umat Kristiani didesak terus-menerus untuk menjaga lidah dari yang jahat (bdk. Mzm. 34: 14). Seperti yang diajarkan Kitab Suci, dengan lidah yang sama, kita dapat memuji Tuhan dan mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah (bdk. Yak. 3: 9). Perkataan buruk janganlah keluar dari mulut kita, “tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ef. 4: 29).

 

Acap kali percakapan yang bersahabat dapat membuka celah, bahkan pada hati yang sudah membatu sekalipun. Terkait dengan hal ini, kita dapat menemukan buktinya dalam salah satu literatur. Saya ingat cerita yang tertera di halaman yang tak terlupakan pada Bab 21 buku Promessi Sposi (sebuah novel karangan Alessandro Manzoni, yang dalam bahasa Inggris The Betrothed, ‘Bertunangan’). Dalam kisah itu, Lucia berbicara dengan hati kepada Innominato (Yang Tidak Bernama) sampai orang itu merasa terlucuti dan tersiksa oleh krisis batin yang sungguh berguna bagi hidupnya. Dan pada akhirnya, dia menyerah pada kekuatan cinta yang lembut. Kita sebenarnya mengalami hal tersebut dalam masyarakat, di mana kebaikan bukan hanya masalah “etiket”, melainkan benar-benar menjadi penangkal yang sesungguhnya terhadap sesuatu yang dapat meracuni hati dan relasi manusia, yaitu kekejaman.

 

Dalam dunia media, kita membutuhkan kekuatan cinta yang lembut seperti itu, agar komunikasi tidak menimbulkan iri hati yang menjengkelkan, memicu kemarahan yang mengarah pada konfrontasi, tetapi membantu orang untuk dengan tenang merefleksikan dan memaknai dengan kritis sekaligus penuh hormat terhadap realitas hidup mereka.

 

Komunikasi dari hati ke hati: “Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik

 

Salah satu contoh paling cemerlang dan tetap memikat hingga saat ini tentang “berbicara dengan hati”, dapat ditemukan dalam diri Santo Fransiskus de Sales, seorang Pujangga Gereja. Baru-baru ini, dalam rangka peringatan 400 tahun wafatnya, saya menulis tentang figur ini dalam Surat Apostolik Totum Amoris Est (‘Segalanya tentang Cinta’).

 

Dekat dengan peringatan penting ini, (400 tahun wafat Santo Fransiskus de Sales), saya ingin menyebut satu peringatan lain pada tahun 2023 ini, yaitu 100 tahun penetapannya sebagai Santo Pelindung Jurnalis Katolik oleh Paus Pius XI melalui Ensiklik Rerum Omnium Perturbationem (Tentang Segala Gangguan) (26 Januari 1923). Fransiskus de Sales, Uskup Jenewa pada awal abad ke-17, merupakan seorang intelektual brilian, penulis hebat, dan teolog besar. Beliau hidup pada masa-masa sulit yang ditandai oleh perselisihan sengit dengan Calvinis. Sikapnya lemah-lembut dan manusiawi, serta memiliki kesabaran untuk berdialog dengan semua orang, terutama dengan mereka yang tidak sependapat dengannya. Inilah yang membuat dirinya menjadi saksi luar biasa akan cinta Tuhan yang berbelas kasih.

 

Tentang pribadinya, dapat dikatakan bahwa “tenggorokan yang manis mendapat banyak sahabat, dan keramahan diperbanyak oleh lidah yang manis lembut” (Sir. 6: 5). Terlebih lagi, salah satu pernyataannya yang paling terkenal, “hati berbicara kepada hati”, telah mengilhami banyak orang beriman, termasuk Santo John Henry Newman, yang menjadikannya sebagai moto hidup, “cor ad cor loquitur” (hati berbicara kepada hati). “Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik”, adalah salah satu keyakinannya. Baginya, komunikasi tidak boleh direduksi menjadi suatu kepalsuan, yang saat ini mungkin kita sebut sebagai strategi marketing. Komunikasi merupakan cerminan jiwa, permukaan dari inti cinta yang tidak terlihat oleh mata.

 

Bagi Santo Fransiskus de Sales, justru “di dalam hati dan melalui hati terjadi proses yang intens, hati-hati, dan menyatukan, yang di dalam proses ini kita datang untuk mengenal Tuhan”.[2] Melalui “mencintai dengan baik”, Santo Fransiskus berhasil berkomunikasi dengan Martino yang bisu-tuli, dan menjadi temannya. Oleh karena itu, dia juga dikenang sebagai pelindung bagi penyandang disabilitas dalam berkomunikasi.

 

Berawal dari “kriteria cinta” inilah, melalui tulisan-tulisan dan kesaksian hidupnya, Uskup suci dari Jenewa itu mengingatkan bahwa “kita ini adalah apa yang kita komunikasikan”. Pokok tersebut menentang arus, seperti yang kita alami saat ini, khususnya di jejaring sosial. Komunikasi sering dieksploitasi sehingga dunia melihat kita seperti yang kita inginkan, bukan siapa kita sebenarnya. Santo Fransiskus de Sales menyebarkan banyak salinan tulisannya di komunitas Jenewa.

 

Intuisi “jurnalistik” ini membuatnya memiliki reputasi yang dengan cepat melampaui batas keuskupannya, dan bahkan masih bertahan hingga hari ini. Menurut pengamatan Santo Paulus VI, tulisan-tulisannya merupakan bacaan yang “sangat menyenangkan, dapat menjadi panduan, dan menggerakkan”.[3] Kalau sekarang kita melihat dunia komunikasi, bukankah ini ciri-ciri yang harus ada dalam sebuah artikel, laporan, program televisi atau radio, atau unggahan di media sosial? Semoga mereka yang bekerja di bidang komunikasi terinspirasi oleh Santo yang lemah-lembut ini, mencari dan menyatakan kebenaran dengan berani dan bebas, serta menolak godaan untuk menggunakan ekspresi sensasional dan agresif.

 

Berbicara dengan hati dalam bersinode

 

Sebagaimana biasanya saya tekankan, “Dalam Gereja juga ada kebutuhan besar untuk mendengarkan dan saling mendengarkan satu sama lain. Ini menjadi persembahan yang paling berharga dan menghidupkan, yang dapat kita berikan satu sama lain.”[4] Artinya, mendengarkan tanpa prasangka, penuh perhatian dan terbuka, menghadirkan pembicaraan menurut gaya Tuhan, sambil memupuk keakraban, bela rasa, dan kelembutan.

 

Ada sebuah kebutuhan mendesak dalam Gereja akan komunikasi yang mengobarkan hati, yang menyembuhkan luka, dan yang menyinari perjalanan saudara-saudari kita. Saya memimpikan komunikasi gerejawi yang sungguh memahami bagaimana membiarkan dirinya dibimbing oleh Roh Kudus dengan lembut, dan pada saat yang sama juga profetik, serta mengetahui bagaimana menemukan cara dan sarana pewartaan baru yang mengagumkan, untuk diwartakan pada milenium ketiga.

 

Sebuah komunikasi menempatkan hubungan dengan Tuhan dan sesama––terutama yang paling membutuhkan––di pusat dan tahu bagaimana menyalakan api iman daripada mempertahankan identitas palsu diri sendiri. Inilah sebuah bentuk komunikasi yang dibangun atas kerendahan hati dalam mendengarkan dan parrhesia (bebas dan terbuka menyatakan kebenaran) dalam berbicara, yang tidak pernah memisahkan kebenaran dari kasih.

 

Membersihkan jiwa-jiwa dengan mempromosikan bahasa damai

 

“Lidah lembut mematahkan tulang,” kata Kitab Amsal (25:15). Lebih daripada sebelumnya, berbicara dengan hati saat ini sangat dibutuhkan untuk mempromosikan budaya damai di tempat-tempat di mana ada peperangan yang sedang berkecamuk, serta untuk membuka jalan yang memungkinkan dialog dan rekonsiliasi di mana kebencian dan permusuhan masih merajalela. Dalam konteks ruwetnya konflik global yang sedang kita alami, sangatlah mendesak untuk memelihara komunikasi yang tidak bermusuhan.

 

Sungguh penting mengatasi kebiasaan “mendiskreditkan dan menghina lawan sejak awal [alih-alih] membuka dialog yang saling menghormati”.[5] Kita membutuhkan komunikator yang siap berdialog, terlibat dalam mempromosikan pelucutan senjata secara total, dan berkomitmen menghentikan ambisi perang yang bersarang di hati kita, sebagaimana pernah diserukan oleh Santo Yohanes XXIII secara profetik dalam Ensiklik Pacem in Terris (Damai di Bumi), “Perdamaian sejati hanya dapat dibangun dengan saling percaya” (art. 113). Sebuah kepercayaan membutuhkan komunikator yang terbuka, berani, dan kreatif, serta siap mengambil risiko untuk menemukan titik perjumpaan.

 

Seperti yang terjadi 60 tahun silam, sekarang kita juga hidup di masa kelam, di mana umat manusia takut akan eskalasi perang yang harus dihentikan secepat mungkin, terutama juga pada tataran komunikasi. Sungguh mengerikan ketika mendengar betapa mudahnya mengucapkan kata-kata yang menyerukan penghancuran terhadap sesama dan wilayahnya. Kata-kata, sayangnya, sering berubah menjadi tindakan kekerasan nan keji seperti perang.

 

Inilah sebabnya, mengapa semua retorika tentang perang dan setiap bentuk propaganda yang memanipulasi dan merusak kebenaran untuk tujuan ideologis, harus ditolak. Sebaliknya, setiap bentuk komunikasi yang membantu menciptakan kondisi untuk menyelesaikan perselisihan antarbangsa, harus dipromosikan.

 

Sebagai umat Kristiani, kita tahu bahwa nasib perdamaian ditentukan oleh pertobatan hati, karena virus perang berasal dari dalam hati manusia.[6][6] Dari hati itulah keluar perkataan yang benar untuk menghilangkan bayang-bayang dunia yang tertutup dan terpecah, juga membangun peradaban yang lebih baik dari yang telah kita terima sebelumnya. Setiap orang diminta untuk terlibat dalam upaya ini, tetapi mereka yang berkarya di bidang komunikasi diharapkan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dan menjalankan profesinya sebagai sebuah tugas perutusan.

 

Semoga Tuhan Yesus, Sabda Murni yang mengalir dari hati Bapa, membantu kita berkomunikasi dengan bebas, bersih, dan ramah. Semoga Tuhan Yesus, Sabda yang menjadi manusia, membantu kita mendengarkan detak jantung, menemukan kembali diri kita sebagai saudara dan saudari, dan melucuti permusuhan yang memecah-belah. Semoga Tuhan Yesus, Sabda Kebenaran dan Kasih, membantu kita untuk membicarakan kebenaran dalam cinta kasih, supaya kita dapat merasa seperti menjadi penjaga satu sama lain.

 

Basilika Santo Yohanes Lateran, Roma, 24 Januari 2023,

Pada Peringatan Santo Fransiskus de Sales.

 

FRANSISKUS