SURAT GEMBALA PRAPASKAH
2015
POLA HIDUP SEHAT DAN
BERKECUKUPAN
KEUSKUPAN AGUNG
MAKASSAR
SURAT GEMBALA PRAPASKAH
2015
POLA HIDUP SEHAT DAN
BERKECUKUPAN
Kepada para Pastor,
Biarawan-Biarawati dan segenap Umat beriman Katolik Keuskupan Agung Makassar:
Salam dan damai sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan kita!
Pada tahun 2015 ini, Rabu Abu, sebagai awal Masa Prapaskah, jatuh pada
tanggal 18 Februari. Tahun ini merupakan tahun ke-4 dari lingkaran 5-tahunan
APP Nasional (2012-2016), dengan tema pokok “Mewujudkan Hidup Sejahtera”.
Adapun sub-tema tahun ke-4 ini berpusat pada membangun “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan”.
Kaitan Sebab-Akibat antara Dua Kutub
Selama 5 tahun
(1981-1986) saya bertugas belajar di Roma. Agar tidak kehilangan semangat pastoral
selama menjadi ‘anak sekolah’, dan sekaligus pula untuk mencari pengalaman
pastoral di negeri lain, saya lebih suka menggunakan waktu-waktu liburan
bekerja di paroki, baik di Italia maupun di Jerman dan Canada. Para pastor
paroki di Eropa Barat dan Amerika Utara umumnya suka mengambil libur tahunan
pada musim panas. Pada umumnya mereka berupaya mencari tenaga pengganti
sementara di parokinya di Roma, karena tahu di sana banyak imam dari berbagai penjuru
dunia sedang bertugas belajar.
Saya teringat sebuah
pengalaman kecil ketika pertama kali menjadi tenaga pengganti sementara (“vertreten”
namanya dalam bahasa Jerman) di sebuah paroki di Dinkelsbühl, sebuah kota kecil
di Jerman Selatan. Pada Misa hari Minggu pertama saya berada di paroki
tersebut, saya terperanjat memperhatikan sedikit sekali umat yang hadir, dan
umumnya hanya orang-orang yang sudah tua. Padahal menurut informasi pastor
paroki, sebelum berangkat berlibur, jumlah umat paroki tersebut 3500-an. Di
sakristi, sesudah Misa, saya bertanya kepada koster, “Mengapa sedikit sekali
umat yang datang ke Misa?” Apa jawabnya? “Ah, Pastor, kalau perut sudah penuh,
orang lupa berdoa kepada Tuhan!” Sambil tersenyum, saya menimpali, “Di negeri
saya, Indonesia, orang sering berkata: ‘Kalau perut kosong, seseorang tidak
mudah berdoa’!”
Ya, rupanya baik “perut
kenyang” maupun “perut lapar”, keduanya membawa masalah dalam hubungan manusia
dengan Tuhan. Bukankah kisah “dosa asal” dalam Kitab Suci menyangkut daya tarik
materiil (kebutuhan jasmani) disertai hasrat berkuasa (mau menjadi seperti
Allah)? “Tetapi ular (si penggoda) itu berkata kepada perempuan itu:
‘Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu
kamu memakannya … kamu akan menjadi seperti Allah…’. Perempuan itu
melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya…”
(Kej. 3:4-6). Ternyata sejak awal keberadaannya di bumi, manusia sudah
berhadapan dengan godaan tidak tunduk kepada perintah Allah, dan lebih
mementingkan materi dan kekuasaan. Nafsu memiliki materi sebanyak-banyaknya
telah menyebabkan ketidak-seimbangan sangat parah pembagian kekayaan bumi di
antara penduduk bumi itu sendiri. Sebagaimana seringkali dikatakan, 80%
kekayaan bumi dimiliki oleh 20% penduduk bumi, dan hanya 20% kekayaan bumi
dimiliki oleh 80% penduduk bumi. Di era global dewasa ini, pengembangan ekonomi
dikendalikan oleh sistem “pasar bebas”, yang ciri utamanya ialah mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Dunia industri terus-menerus menawarkan
produk-produk baru, dan masyarakat merasa harus memilikinya agar tidak dianggap
ketinggalan jaman. Ini melahirkan suatu gaya hidup baru, yang disebut konsumerisme. Dalam dunia materialistis-konsumeristis seperti ini,
UANG menjadi unsur yang menentukan. Segala-galanya bisa dibeli dengan uang.
Oleh karena itu orang berupaya memiliki uang sebanyak-banyaknya dengan segala
macam cara, termasuk korupsi. Uang telah menjadi seakan ilah baru, menggantikan
Ilah yang benar. Bahkan tampaknya gejala ini telah merasuk ke dalam hidup
beragama, seperti dalam apa yang dewasa ini dikenal dengan nama “Teologi
Sukses” atau “Teologi Kesejahteraan”. “Teologi Sukses” sesungguhnya merupakan
ajaran yang mendewakan kesuksesan dan kesejahteraan materiil, di mana Allah
diperlakukan tidak lebih dari sebagai “alat” untuk mencapainya.
Pengembangan ekonomi
dengan sistem “pasar bebas” murni menyebabkan yang kaya akan semakin kaya dan
yang miskin akan semakin miskin. Dalam sistem “pasar bebas” hanya mereka yang
memiliki modal besar yang mampu bersaing, sedangkan yang bermodal kecil akan
semakin terpuruk. Maka hanya sekelompok
kecil (20%) penduduk bumi akan terus berjaya, sedangkan mayoritas mutlak (80%) akan semakin tersingkir; sebagian besar dari
mereka ini akan terus terancam tragedi kelaparan. Barangkali banyak dari mereka
ini yang pasrah menerima nasib; atau kalau mereka masih percaya ada Tuhan,
paling-paling mereka bisa menggugat, apakah Tuhan masih peduli mereka? Tetapi
satu hal pasti, selama ketidak-seimbangan dan ketidak-adilan ini tidak diatasi,
maka perdamaian dunia hanya merupakan ilusi. Dan selama itu, juga kelompok
minoritas (yang 20% itu) tidak akan pernah sungguh-sungguh mengenyam
ketentraman hidup!
Manusia Terpanggil Kembali ke Fitrahnya
Apa dan
siapakah manusia itu? Menurut Kitab Suci, “Allah menciptakan manusia menurut
gambar-Nya…; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka” (Kej. 1:27). Jadi
manusia itu adalah makhluk ciptaan
Tuhan. Dia tidak ada dari dirinya sendiri. Berikut, manusia itu tidak
diciptakan seorang diri. Mereka diciptakan laki-laki dan perempuan. Berarti
dari hakekatnya, manusia itu adalah makhluk sosial (dari bahasa Latin socius
= bersama-sama, bersatu). Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia
itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia” (Kej. 2:18). Sebagai makhluk sosial, yang-berada-bersama-orang-lain,
manusia adalah citra atau gambar
Allah. Nah, dalam Perjanjian Baru kita menemukan definisi, bahwa “Allah adalah
kasih” (1 Yoh. 4:8.16). Kalau manusia itu adalah citra Allah dan Allah itu
adalah kasih, maka manusia dari hakekatnya harus mencerminkan kasih dalam hubungannya dengan
sesamanya.
Selanjutnya, perlu
dicatat, bahwa dalam Kitab Kejadian terdapat
dua versi kisah penciptaan. Kej. 1:1-2:4a, yang menurut para ahli
bersumber dari tradisi P (tradisi Imam),
mengisahkan penciptaan langit dan bumi serta segala isinya oleh Allah melalui
sabda-Nya dalam enam hari, dan pada hari ke-7 Ia beristirahat. Sedangkan Kej.
2:4b-3:24 bersumber dari tradisi Y (Yahwis). Di sini Allah digambarkan bagai pembuat periuk dengan
membentuk manusia (2:7) dan segala binatang hutan dan segala burung di udara
(2:19) dari tanah. Kej. 2:7 selengkapnya berbunyi: “Tuhan Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya;
demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”. Di sini kita menemukan
dimensi hakiki dan asali lainnya dari manusia: manusia itu adalah makhluk jasmani-rohani dalam satu keutuhan;
meminjam rumusan Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ: manusia adalah roh-yang-membadan atau badan-yang menroh. Dari segala ciptaan
hanya manusialah yang diciptakan secara demikian. Dari segi rohani, manusia
adalah makhluk transenden di atas
makhluk-makhluk lainnya. Kiranya sifat asali yang sama inilah yang dimaksudkan
tradisi P dengan menyebut manusia itu sebagai citra Allah. Dari segi jasmaniah, manusia itu sama dengan makhluk
ciptaan lainnya, dan sebagai demikian ia mempunyai kebutuhan pokok materiil
untuk dapat hidup dan berkembang.
Adapun tujuan Allah
menciptakan manusia adalah untuk membahagiakannya.
Ini diungkapkan dengan kisah taman Eden: “Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman
di Eden, di sebelah timur, disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuknya
itu. Lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik
dan yang baik untuk dimakan buahnya” (Kej. 2:8-9). Seterusnya dikatakan: “Tuhan
Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu” (ay. 15). Sesungguhnya taman Eden itu
ialah bumi yang didiami manusia ini. Pemilik dari segala sesuatu yang ada
bukanlah manusia, melainkan Tuhan Allah, Sang Pencipta, yang mengadakan
semuanya itu untuk segenap umat manusia, tanpa kecuali. Manusia sendiri
hanyalah pengelola milik Sang Pencipta itu. Tetapi dosa telah memporak-porandakan
rencana baik dari Allah itu. Akibatnya taman Eden, sebagai taman keselamatan
dan kesejahteraan itu, berubah menjadi taman kemalangan.
Namun, dari kodratnya
setiap manusia tetap mendambakan keselamatan-kesejahteraan, kebahagiaan. Dan
ini hanya dapat terwujud apabila manusia kembali ke fitrahnya, sifat-sifat
asalinya menurut Kitab Suci, sebagaimana sudah diutarakan di atas.
Membangun Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan
Dosa telah
mengubah posisi manusia sebagai pengelola
harta kekayaan bumi, dan berlagak sebagai pemilik
aslinya. Padahal segala kekayaan dunia itu hanyalah “titipan” dari Sang
Pencipta. Tiada manusia yang datang ke dalam dunia ini sudah membawa serta
harta kekayaan. Setiap manusia dilahirkan ke dalam dunia ini dengan telanjang
bulat, tak memiliki apa-apa. Dosa juga telah menyebabkan ketidak-seimbangan
keutuhan manusia sebagai makhluk jasmaniah-rohani; yang ditekankan hanyalah
segi kebutuhan jasmani-materiil: “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu
baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (Kej. 3:6). Daya tarik materi
melahirkan sikap mendewakan materi (materialisme),
yang berujung pada pendewaan uang (mamon). Kerakusan akan materi juga mengubah fitrah
asli manusia sebagai makhluk sosial menjadi makhluk individualistis, yang mengeksploitasi sesamanya. Tidak itu saja.
Alam lingkungan tidak lagi diperlakukan sebagai taman (Eden) yang harus
dipelihara, melainkan dipandang sebagai tambang yang boleh dikuras habis demi
kepentingan ekonomistik. Maka berkembanglah sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi
yang buta etika. Eksploitasi alam tanpa etika semacam ini sungguh merupakan
ancaman serius bagi keberadaan umat manusia itu sendiri!
Yesus Kristus, Manusia
baru itu, telah memulihkan fitrah asli manusia dan mengangkatnya. Maka hanya
Yesus Kristuslah satu-satunya yang harus menjadi dasar dan model dalam upaya
mengkonkretkan fitrah asli manusia itu. Dialah Sang Sabda yang menjelma (lih.
Yoh. 1:1-18), menjadi “sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat
dosa” (Ibr. 4:15). Sebelum Dia mulai hidup dan berkarya di depan umum, Yesus
berpuasa 40 hari dan dicobai (Mat. 4:1-12; Luk, 4:1-13). Cobaan pertama berupa
godaan materiil. Yesus yang lapar digoda mengubah batu jadi roti. Yesus menolak
dengan mengutip Kitab Suci (Ul. 8:3): “Manusia hidup bukan dari roti saja,
tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”. Dengan itu Yesus mau
mengajar kita, bagaimana seharusnya kita menghayati jati diri asli kita sebagai
makhluk jasmani-rohani: segi rohanilah yang harus mengarahkan segi jasmani, bukan
sebaliknya. Dalam konteks ini kita dapat memahami nasehat-Nya: “Carilah dahulu
Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
(Mat. 6:33). Atau: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi
kehilangan nyawanya?” (Mat. 16:26). Dan kepada orang yang mendewakan uang, Dia
mengingatkan: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat.
6:24).
Godaan kedua, menurut
versi Matius, ialah menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Inilah godaan
menikmati kepopuleran, ingin disanjung-sanjung publik. Yesus tegas menolak
dengan kembali mengutip Kitab Suci (Ul. 6:16): “Janganlah engkau mencobai
Tuhan, Allahmu!” Di sini Yesus mau mengajar kita untuk tidak mencari
popularitas murahan dengan membawa-bawa nama Allah. Akhirnya, godaan ketiga
ialah godaan akan kekuasaan. Yesus ditawari “semua kerajaan dunia dengan
kemegahannya” asalkan Dia mau sujud menyembah Iblis. Yesus menghardik,
“Enyahlah, Iblis!”, dan sekali lagi mengutip Kitab Suci (Ul. 6:13): “Engkau
harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Yesus datang tidak untuk mengejar kekuasaan: Putera Manusia datang “bukan untuk
dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45). Dengan demikian, Citra Allah yang
sempurna itu tidak hanya memulihkan fitrah manusia sebagai makhluk sosial, yang-berada-bersama-orang-lain.
Ia sekaligus menyempurnakan fitrah sosial manusia menjadi “berada untuk-orang-lain”
(altruisme sejati). Dasar dari sikap altruis sejati ini tidak dapat lain daripada
KASIH sejati: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Demikianlah, upaya
membangun pola hidup sehat dan berkecukupan harus dilihat dalam kerangka
pemulihan fitrah asli manusia yang berlandas dan bermodelkan Yesus Kristus,
Manusia baru, Citra Allah yang sempurna. Sebagaimana diterangkan dalam naskah
“Gerakan APP Nasional 2015”, pola hidup sehat berarti melakukan kegiatan olah
rohani dan jasmani yang teratur, terus-menerus dan seimbang, dalam mencapai
pemenuhan kebutuhan mendasar hidup manusia. Kesehatan dimengerti sebagai
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap manusia
hidup produktif dan kreatif seturut dimensi sosial dan ekonomi. Situasi dan
kondisi ini yang membuat manusia mempunyai daya hidup untuk memberdayakan
segala sesuatu dengan maksimal, baik yang dimilikinya maupun lingkungan
hidupnya, demi membangun dan mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.
Selanjutnya disebutkan
tiga sasaran dan tujuan “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan” sebagai gerakan APP
2015 dalam membangun dan mewujudkan pembaharuan iman umat, sebagai berikut: (1)
Menghargai dan menghormati tubuh sebagai kenyataan yang sangat pribadi sebagai
tanda dan wahana untuk membangun hubungan-hubungan dengan sesama, dengan Allah
dan alam semesta demi terwujudnya kesejahteraan bersama: (2) Perilaku hidup
yang manusiawi; keadilan, kebenaran, kejujuran, kasih dengan menjaga, memelihara dan membangun
lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan; dan (3) Tanggungjawab atas
keutuhan biologis manusia yang diciptakan sebagai citra Allah dengan hidup
saling berbagi satu sama lain.
Akhirnya, disajikan
beberapa inspirasi membangun gerakan pola hidup sehat dan berkecukupan yang
dapat dibuat, antara lain: (1) Gerakan
‘Optimalisasi Lahan Pekarangan’: Sesungguhnya setiap unit keluarga harus
memperlakukan lahan pekarangannya bagai ‘taman Eden’, di mana Allah telah
menempatkan keluarga bersangkutan untuk mengusahakan dan memeliharanya demi
kesejahteraan dan keberlangsungan hidupnya; (2) Gerakan ‘Bersih dan Sehat Lingkungan’: Budaya sampah sudah membuat
manusia tidak peka dengan memboroskan dan membuang sisa makanan. Sementara, di
setiap bagian dunia masih sekian banyak orang dan keluarga yang menderita
kelaparan dan gizi buruk. Gerakan ‘Bersih dan Sehat Lingkungan’ dapat menjadi
cara untuk menghormati dan merawat ciptaan, untuk memperhatikan setiap orang,
untuk melawan budaya menyampah dan membuang-buang makanan, serta memajukan
budaya solidaritas dan perjumpaan; (3) Gerakan
‘Bank Benih Petani’: Alam ciptaan adalah anugerah Allah untuk umat manusia.
Dalam penggunaannya, manusia mempunyai tanggung jawab terhadap kaum miskin,
generasi mendatang, dan umat manusia sebagai keseluruhan. Gerakan ‘Bank Benih
Petani’: dari, oleh, dan untuk petani bagi keberlanjutan kehidupan akan
bercirikan bela rasa dan keadilan antar generasi.
Penutup
Selamat
menjalani Masa Prapaskah, yang berfokus pada upaya membangun “Pola Hidup Sehat
dan Berkecukupan”, dengan berlandas dan meneladani hidup dan karya Yesus
Kristus, Citra Allah yang sempurna, yang telah memulihkan dan menyempurnakan
fitrah asali manusia. Makna sejati puasa
dan pantang serta Aksi Puasa Pembangunan (APP) harus kita
gali dari hidup dan karya Yesus sendiri. Dengan berpuasa 40 hari, Yesus mau
mengajar kita untuk senantiasa mengendalikan nafsu jasmani kita manusia sebagai
makhluk rohani-jasmani. Dengan APP
kita ingin meneladani Dia yang telah rela menjadi sama dengan kita, makhluk sosial yang berkewajiban berbela rasa
dengan saudari-saudaranya yang menderita kemiskinan. Selanjutnya, sejalan
dengan pusat keprihatinan Paus kita, hendaknya gerakan “Pola Hidup Sehat dan
Berkecukupan” kita mulai dari keluarga kita masing-masing. Paus Fransiskus
tampaknya mempunyai keyakinan yang sama dengan pendahulu beliau, Paus Yohannes
Paulus II. Paus Yohannes Paulus II pernah menegaskan, “Jika keluarga-keluarga
Katolik baik, maka Gereja akan baik”. Paus Fransiskus telah memutuskan mengadakan
dua sinode para Uskup berturut-turut (2014 dan 2015) menyangkut tema yang sama:
pastoral keluarga. KWI dan PGI
menyambut antusias keprihatinan Paus itu: Pesan Natal Bersama KWI-PGI 2014
mengambil tema “Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga”. Sementara untuk Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015 sengaja dipilih tema yang sama,
mengenai KELUARGA. Semoga keluarga-keluarga Katolik semakin mencerminkan Keluarga Kudus Nazaret.
Tuhan memberkati kita!
Makassar,
26 Januari 2015
+ John
Liku-Ada’
Uskup
Agung Makassar
PERATURAN PUASA DAN
PANTANG:
1.
Masa
Prapaskah mulai pada HARI RABU ABU tanggal 18 Februari 2015 dan berjalan sampai Pesta Paskah
tanggal 5
April 2015.
2. Seluruh Masa Prapaskah adalah waktu bertapa. Karena itu diharapkan dari
masing-masing agar selama Masa Prapaskah dengan kesadaran dan kerelaan
melakukan pekerjaan amal dan tapa menurut pilihan masing-masing, selain yang
diwajibkan di bawah ini.
3. Secara khusus diminta perhatian untuk AKSI PUASA PEMBANGUNAN (APP), yang
dimaksudkan mengumpulkan dana, yang diperoleh dari usaha-usaha penghematan /
berpantang. Dana itu diperuntukkan karya-karya sosial, termasuk usaha-usaha
pengembangan Komunitas Basis/Keluarga dan pemberdayaan lingkungan. Sungguh
menggembirakan melihat animo umat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
APP semakin meningkat. Tahun 2014 dana hasil APP di Keuskupan kita naik 27%
dibanding dengan tahun 2013. Sambil mengucapkan terima kasih atas semua itu,
kita berharap APP tahun ini akan meningkat lebih baik lagi.
4. Di samping itu selama Masa Prapaskah kita wajib berpuasa dan berpantang
menurut peraturan berikut:
a.
Pada Hari Rabu Abu
dan Jumat Agung ada kewajiban berpuasa dan berpantang.
b.
Pada hari-hari Jumat
Biasa dalam Masa Prapaskah hanya ada kewajiban berpantang.
c.
Berpuasa berarti mengurangi makan,
sehingga hanya satu kali saja boleh makan kenyang dalam sehari.
Kewajiban untuk berpuasa ini berlaku bagi mereka yang berumur antara 18 sampai
60 tahun.
d.
Berpantang berarti mengurangi
makanan mewah sesuai dengan penilaian daerah masing-masing, misalnya berpantang
dari daging.
Secara perorangan dapat pula menentukan wujud berpantang menurut keadaan
masing-masing, misalnya berpantang dari berjajan makanan khusus, dari minuman
keras, dari rokok, dll.
Kewajiban berpantang berlaku bagi mereka yang berusia 14 tahun ke atas.
5. Mereka yang mendapat makanan dari dapur umum, atau yang hidup di tengah
keluarga yang seluruhnya belum Katolik, bebas dari wajib pantang, tetapi tidak
bebas dari wajib puasa.
6. Kewajiban Paskah, yaitu kewajiban untuk menyambut komuni (dan kalau perlu
sebelumnya mengaku dosa) dapat dipenuhi dari Hari Rabu Abu tanggal 18 Februari 2015 sampai Hari Raya
Tritunggal Mahakudus, 31 Mei 2015.
NB. : Berhubung
Tahun Baru Imlek jatuh pada 19 Februari 2015 dan biasanya ada yang sudah mulai
perayaan pada malam sebelumnya, maka dengan ini diberikan dispensasi dari
kewajiban puasa dan pantang sejak Rabu malam, 18 Februari 2015, bagi umat
Katolik yang merayakannya.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar